Senin, 18 Mei 2009

POEM - Bang SMS

oleh gunarso

Dimana kamu yang selalu muncul dalam teks teraturmu di display handphoneku
tiba-tiba lenyap tak seketik hurufpun terkirim untukku, sedang aku telah menyediakan nomor khusus untukmu.

dimanakah kamu yang setiap saat menderingkan miss call untukku agar pesan singkatmu segera kubaca dan kubalas, walau dengan layar kosong sekalipun.dimanakah kau kini,.

Sedang wajah dan alamatmu hanya tergambar lewat rangkaian kata-kata halusmu dalam bahasa yang sangat menjadikanku untuk selalu membalasnya.

bibir manismu hanya dapat kulukis diambang khayalku.

derai tawamu selalu menyegarkan semangatku walau lewat dua macam huruf yang selalu membuatku membayangkan wajah sempurnamu.

dimanakah kamu

sudah sekian waktu kutunggu, puluhan huruf berlalu tanpa report, seolah terbang mencari arah sinyalmu, ... dimanakah kamu.

Aku tidak dengan jelas mengetahui alasanmu, mengapa engkau menghilang, mematikan handphonmu atau melepas bateri hpmu atau apalah sehingga engkau tidak menerima lagi dan menjawab sms ku.

Atau jangan-jangan
engkau ...
adalah
istriku ......

Jakarta, 18 Mei 2009

Sabtu, 16 Mei 2009

SEMAKIN ABSURD

Oleh : Gunarso

Tubuhku enteng seringan kapas melayang terbawa angin yang gersang berputar-putar tanpa arah tujuan yang jelas. Ketiadaan bobot tubuhku memungkinkan aku terbang bergulung-gulung bersama debu entah mengikuti apa dan kemana akan berhenti.Aku seakan tidak ada pilihan untuk menghentikan semuanya ini. Andaipun aku punya pilihan aku justru tidak menginginkan untuk menyudahi petualanganku yang sangat aneh ini.

Dalam keadaan tanpa bobot ini sebenarnya ada hakku untuk bertanya mengapa, tetapi sekali lagi aku tidak menginginkan jawaban itu, aku hanya ingin merasakan saja apa yang sedang dan akan terjadi selanjutnya. Bahkan ketika aku bergerak semakin tinggi semakin tipis udara yang kuambil sebagai nafasku, semakin mengecil saja benda-benda yang menempel di bumi ini sebagaimana kulihat.

Matahari yang semakin tinggi memancarkan sinarnya langsung menghunjam hutan pinus dan tanah lapang disebelahnya, warna rumput dan daun pinus nampak semakin memudar agak kecoklatan beriringan dengan tingginya matahari. Binatangpun makin menyembunyikan dirinya dari sengatannya dengan berlindung dengan apa saja yang bisa menutupinya. Itu kutahu dari ekor anjing yang masih terlihat tergerai tidak terlipat belum disembunyikan di balik semak-semak sana oleh pemiliknya.

Kutahu juga ekor anjing belang yang bersembunyi itu adalah peliharaan nenek Kapri yang rumahnya tidak jauh dari tanah lapang di dekat hutan pinus itu.

Nenek itu tidak sendirian. Sehari-hari ia ditemani anjingnya yang dengan setia menghantarkan tidur siangnya. Dan kutahu juga kalau anjingnya keluar dari rumah sang nenek, pasti nenek itu sedang tidur dan tidak membutuhkannya lagi.

Dua orang anak Nenek Kapri sudah beberapa waktu meninggalkannya untuk mencari kehidupan yang lebih layak menurutnya. Si Sulung sudah tiga tahun sejak menikah tidak pernah pulang, hanya kiriman uang saja yang masih rutin dikirimkannya besamaan dengan surat yang biasanya berisi sama yaitu menyatakan bahwa dirinya sehat dan berharap ibu juga demikian.

Meskipun surat tersebut berulang-ulang mengandung pesan yang sama tetapi nenek Kapri tidak bosan-bosan membaca surat dari si sulung, bahkan kemudian menyimpannya setelah ada surat yang berikutnya.Adiknya satu tahun ini pergi meninggalkannya ke luar kota yang berlainan dengan si Sulung, dengan alasan yang sama dengan kakaknya yaitu mencari penghidupan yang lebih baik.

Penghasilan merawat sedikit sawahnya tidak lagi mencukupi gaya hidupnya untuk mengikuti gaya hidup teman-temannya yang bergelimang dengan asesoris modern seperti handphone, mp3 dan entah apa lagi yang dia tidak tahu apa itu dan memang dia tidak mau bertanya karena sudah pasti dirinya tidak bakal punya alat-alat itu. Si Nenek tidak tahu pekerjaan keduannya, tetap anak terkecilnya belum bisa memberikan kiriman uang sebagimana yang dijanjikannya ketika meninggalkannya.

Tidak apa-apa pikir nenek, tentunya ia sedang mencari pencaharian yang layak.Cerita itu aku dapat dari nenek waktu aku bertemu nenek Kapri beberapa waktu lalu sebelum udara menerbangkanku.

Yah! Aku hanya berkomentar dan memberi semangat kepada nenek agar lebih tenang dan sabar dalam menjalani kehidupannya dan tidak lupa mendoakan keselamatan anak-anaknya.Nenek hanya tersenyum dan dengan nada lirih pelan tetapi sangat jelas terdengar mengatakan bahwa dirinya tidak kurang lagi meminta kepada Allah SWT akan keselamatan kedua anak-anaknya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.

Sebagai warga biasa tentu saja menurut hukum bukanlah menjadi kewajibanku untuk mempedulikan nenek ini sebagai salah satu warga yang barangkali memerlukan perhatian. Tetapi kunjunganku kepada Nenek ini semata-mata karena rasa kasihan saja pada salah satu insan tua yang harus harus tinggal sendirian ditinggal kedua orang anaknya. Hal ini sering terjadi pada orang tua ketika anak-anaknya sudah dewasa dan mempunyai penghidupannya sendiri.

Kini ia tinggal bersama anjing kesayangannya, ia ceriterakan semuanya kepada anjing itu ketika ia ingin mengatakan sesuatu. Segala sesuatu bisa menjadi obyek pembicaraan dengan anjing kesayangannya itu. Dari mulai masa kanak-kanaknya yang penuh kenangan membahagiakan beserta kenangan-kenangan nakalnya yang tidak pernah dilupakannya. Anjingnya selalu berada didekatnya manakala dengan sayang membelai-belai dagunya. Entah tahu entah tidak apa yang dibicarakan nenek itu. Nenek menganggap tidak usah anjing itu tahu apa yang dibicarakan, cukup dengan mendampingi dan mendengarkan ceriteranya saja ia sudah cukup terhibur. Nenek menganggap bahwa anjingnya mengerti makna pembicaraannya untuk membunuh sepinya. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku anjing yang selalu berada didekatnya. Baik diwaktu nenek memberikan makanan maupun tidak.

Semakin tinggi tubuhku melayang-layang di langit, hampir mendekati awan. Angin yang seharusnya mengumpulkan awan menjadi bintik embun yang kelak menjadi hujan tidak kurasakan kesejukannya.

Terlalu lemah untuk menggoyangkan pucuk-pucuk pinus.

Posisi tubuhku kadang-kadang telentang menatap langit yang biru menyilaukan, hampir tak nampak karena silaunya sinar matahari hingga membuat retina mataku mengecil, hanya semburat saja yang sempat kutangkap, saat itulah aku segera memalingkan wajahku kearah yang lain. Disitu aku menemukan pemandangan yang lebih bisa kugambarkan. Langit warna biru, awan putih bergulung-gulung.

Sudah lama keadaan langit ini tidak berubah, hanya lukisan awan-awannya yang selalu berubah ujud. Kadang-kadang membentuk salah satu benda di bumi seperti payung, kuali, pisang dan lain-lain, kadang-kadang membentuk lukisan abstrak yang tidak seorangpun tahu sedang menggambarkan apa.

Waktu kecil aku bisa berjam-jam memandangi perubahan bentuk awan-awan ini sambil bertengger di atas pohon mangga di rumah satu kampung dengan Nenek Kapri.

Pada beberapa cabang aku sengaja siapkan membentuk tempat duduk yang bisa melihat langsung kearah langit. Dengan disertai angin sepoi-sepoi tidak jarang aku tertidur diantara ranting-ranting yang kubuat sedemikian rupa sehingga cukup aman dan kuat.

Pada saat itu aku pernah mempunyai keinginan untuk melayang bersama awan, mengelus, menjadikannya sebagai bantal atau kasur atau apalah yang barangkali bisa melingkupiku, membungkusku bak janin yang masih dalam lindungan plasenta sang ibu. Nampaknya seperti daratan yang penuh misteri.

Pantaslah kalau sering digambarkan pada cerita-cerita fiksi negeri kayangan berada di atas awan seperti itu. Nampaknya lebih lembut dari kapas atau bahkan salju yang ada di puncak Jayawijawa atau di Hakone – Tokyo atau dinegeri lainnya yang mengenal musim dingin secara ekstrim.

Kesempatanku merasakan semua itu hampir tiba. Aku hampir mendekati awan.

Udara sejuk karena semakin menjauh dari bumi yang memantulkan begitu saja panasnya matahari kearah yang berlawanan sama dengan sudut datang..

Udara dengan kandungan oksigen yang tipis seharusnya membuatku sulit untuk bernafas.
Dari atas sini, aku baru bisa melihat alam secara lebih jelas dan bijak.

Betapa alam ini diciptakan dengan segala keseimbangan dan segala aturan-aturan yang mapan. Alam sendiri hidup saling memberi dan menyediakan.

Yang tinggi terus tergerus bersama datangnya hujan, agak sedikit tertahan oleh pohon-pohon, selanjutnya meluncur ke kali membawa kikisan bukit sedikit demi sedikit, mili meter kubik demi milimeter kubik yang berbentuk lumpur, untuk kemudian di alirkan ketempat yang lebih rendah, ada sebagian yang diendapkan di rawa-rawa sebagian lagi di sawah dan tempat-tempat lain yang lebih rendah.

Filosifnya adalah: yang lebih tinggi secara alamiah akan menutup tempat yang lebih rendah. Demikian pula dengan kondisi keuangan di sebuah negara, orang yang kaya, baik disengaja maupun tidak akan mengalirkan dananya kepada pihak-pihak yang memang membutuhkan dana itu.

Saling mencari keseimbangan.

Namun aku agak kecewa melihat daerah pegunungan sawah dan hutan pinus dari atas sini, tidak sehijau yang aku sering bayangkan dan kubandingkan dengan gambar-gambar pegunungan yang selalu berwarna hijau atau hijau kebiru-biruan.

Ada warna kecoklatan yang semakin mendesak perbukitan hijau ini dari berbagai arah. Dari timur hutan pinus dekat rumah Nenek Kapri yang mulai tidak tahan dengan desakan warna coklat mulai menyelinap lebih dahulu merangas semak-semak yang berada di bawahnya.Ya, memang dalam kondisi ini biasanya hujan segera turun agar keseimbangan alam tetap terjaga. Agar semburat coklat tidak masuk ke wilayah yang lebih jauh.

Dengan kesadaran penuh aku merasa tubuhku makin tinggi, mulai menembus awan tipis, penglihatanku pada bumi kadang-kadang kabur manakala terlintas awan tipis menerjang. Gubug Nenek Kapri semakin tidak terlihat.

Kali yang mengular dari arah pegunungan mengalir berliku sangat panjang untuk mencapai laut. Lautlah yang menurutku terlihat memancarkan kesejukan dengan warna birunya.

Disitulah terlihat kedamaian , disitulah ada ketenangan, gelombang laut yang tinggi sekalipun tidak terlihat dari atas sini. Dan tentunya ini hanya kamuflase. Betapa ganasnya kehidupan di bawah sana, binatang laut saling memangsa, jurang menganga, magma mengalir, gelombang yang siap menghempaskan segalanya tetap tersembunyi dalam birunya warna laut, sebiru warna langit.

Entah sudah seberapa tingginya aku melayang, suara anginpun semakin jarang kudengar. Kesunyian ini tiba-tiba membuatku tersadar dan membuat pikiran jernihku muncul. Dari suasana sepi ini semua ingatanku terlintas sangat jelas. Ya, memang barangkali inilah saatku untuk mengevaluasi diri, baik-buruknya perbuatan-perbuatan yang pernah kulakukan, perbuatan-perbuatan konyol dan bodoh yang pernah kulakukan apabila mungkin kuulangi dengan perbuatan yang sebaliknya, andaikata bisa, untuk menghapus keburukan-keburukan yang tercatat dalam riwayat hidupku. Dan tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi.

Aku membayangkan mungkin aku pernah menyakiti hati istriku dan barangkali anak-anakku ketika aku dengan tidak sadar melakukannya. Tentu bukanlah sebenarnya itu maksudku, aku hanya tidak biasa mengatakan maaf dan penyesalanku secara langsung kepada yang pernah kusakiti, seperti kebanyakan orang di Indonesia, tetapi tindakanku selanjutnya setelah melakukan kesalahan yang kusadari adalah biasanya kutunjukkan dengan perbuatan baikku.

Perbuatan-perbuatan bodohku dengan tidak membuat suatu prestasi pada pekerjaanku memang sebelumnya pernah aku sesalkan.

Betapa aku sebenarnya mampu menciptakan kondisi perusahaan mempunyai penghasilan yang berlipat ganda, tetapi karena kebodohanku berada di pihak yang selalu mencela kebijakan perusahaan maka aku tidak pernah mendapat kesempatan memperbaiki perusahaan itu.

Pada akhirnya mengundurkan dari perusahaan adalah hal terbaik menurutku waktu itu demi harga diriku. Kebodohanku itu tentu tidak akan kulangi untuk masa masa yang akan datang, seandainya kesempapatan itu datang lagi.

Kebodohan melalaikan menjaga kesehatanku sejak dari waktu muda adalah salah satu perbuatan yang ingin sekali kuperbaiki andainya mendapat kesempatan mengulai masa mudaku. Ketidak seimbangan untuk menjaga makanan dan intensitas olah raga menjadikan tinggi kolesterolku dan lemah jantungku.
Kurangnya aku memeriksakan diri secara rutin mengakibatkan tiba-tiba tekanan darahku berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Itu semua harus kutebus dengan segala resikonya. Dimasa tuaku saat ini dimana aku sudah tidak dikejar dengan pekerjaanku seharusnya aku sudah bisa menikmati hidupku yang sesungguhnya. Namun hal ini justru tidak bisa kulakukan, karena aku harus jalan pagi selama satu jam yang membosankan. Kenikmatan makan yang merupakan kegemaranku juga tidak bisa kusalurkan sepenuhnya, karena aku harus mengurangi garam agar darah tinggiku tidak naik, mengurangi gula agar kadar gulaku terkontrol dan diet-diet lainnya yan gsangat mengekangku untuk berbuat sesuatu.Barangkali perbuatan-perbuatan baikku bias membahagiakan istri, membesarkan anak-anak dan memberikan pendidikan sehingga dapat memperoleh penghidupannya sendiri dapat menghapus kejelekanku di masa yang lalu tanpa harus mengulang lagi umurku.

Aku bergerak semakin tinggi, semakin sunyi, semakin sepi. Bulatan bumi yang hampir kusaksikan keindahannya justru kini tersembunyi entah karena apa, namun aku menjadi semakin tidak peduli apakah tertutup awan ataukan dari mataku sendiri yang kututup untuk menikmati keheningan yang abadi…….……………………….

Senin, 11 Mei 2009

Perjalanan ke Dieng II

Pertama-tama yang terpikirkan setelah tiba di Pegunungan Dieng adalah mencari tempat berteduk. Hari memang belum terlalu malam, tetapi dengan cuaca berkabut seperti ini tidak bisa berbuat banyak, pandangan tidak bisa lepas sampai jauh, jarak pandang hanya sekitar 3 meter. Apalagi dengan kondisi badan yang baru terasa lelah, maka kami terus berjalan sepanjang perkampungan di jalan raya Dieng.

Kami menjumpai sebuah kantor kepala desa yang lebih mirip dengan rumah biasa, karena didepat rumah tergantung tulisan “Kepala Desa Dieng Kulon”, dan mengetuk pintu barangkali ada orang karena ada salah satu jendela yang terbuka, kesimpulankami tentu ada penghuni atau paling tidak yang menjaga rumah atau kantor itu. Disekeliling bangunan itu terdapat tanaman kol yang sangat subur.

Seorang bapak-bapak keluar membukakan pintu dan menyapa kami dengan ramah, kami segera menyebutkan identitas kami dan tujuan bepergian ke Dieng untuk mengisi liburan dan kami membutuhkan tempat untuk bermalam, kami ijin untuk memasang tenda di halaman kantor kepala desa trsebut. Tidak lupa kami menunjukkan surat jalan yang kami mintakan dari Kelurahan yang menyatakan identitas kami dan tujuan bepergian keluar dari Pekalongan dari lurah Keputran.

Bapak-bapak itu segera menyilahkan kami masuk dengan ramah dan berbincang bincang seperlunya. Bapak-bapak tersebut yang ternyata seorang penjaga kantor itu mempersilahkan kami untuk tidur di dalam kantor tersebut.kantor kepala desa Dieng Kulon masih sangat sederhana, dengan dinding terbuat dari papan, sedangkan lantai masih berupa tanah, Di ujung ada sebuah perabotan berupa meja panjang dan bangku panjang yang nampaknya untuk rapat perangkat desa. Memang masih sangat sederhana. Karena hari itu hari libur maka kantor kelurahan tutup.

Kami meletakkan barang bawaan kami di bagian depan bangunan semacam kantor tesebut, alas lantai yang masih berupak tanah kering kami lapisi dengan tikar dan tenda yang urung kami pasang karena tidak lagi perlu untuk pelindung menahan dingin karena ada di dalam rumah. Kamar mandi atau lebih tepat disebut tempat mandi ada di luar rumah, ada pancuran mata air dan tutup dengan dinding terbuat dari anyaman bambu, air sangat dingin tetapi sangat menyegarkan.

Setelah membersihkan diri kami punya sedikit kesempatan untuk mengenal daerah sekitar, disekitar tempat kami menginap terdapat ladang kol yang luas, nampaknya sudah siap panen. Secara bergurau kami membicarakan pengambilan jagung dijalan sebelum mendake ke Dieng ini. Bahkan mulai memikirkan apabila hal tersebut diulangi dengan tanaman kol yang segar tersebut.

Tanpa disangka-sangka ternyata di belakang kami mengobrol ternyata terlihat Bapak-napak penghuni rumah tersebut : “kalau mau ngambil silahkan saja”. bahkan Bapak-bapak ini menunjukkan tempat lagi yang terdapat tanaman yang lebih segar dan besar-besar, sambil sedikit menyombongkan diri bahwa tanamannya sangat subur. Dengan mengucapkan terima kasih akhirnya, kami mengikuti Bapak tersebut menuju tanaman kol / kubis yang besar-besar. Kami segera memetik satu buah yang paling besar, si Bapak mau memetikkan satu lagi, tetapi kami bilang cukup satu saja. Dan satu saja ternyata tidak habis kami masak untuk campuran mi instan, bekal kami dari rumah.

Malamnya kami membuat api di dalam rumah tersebut untuk menyiapkan makan malam, menunya tetap tidak berubah, nasi, mie instan yang kali ini agak istimewa karena dilengkapi dengan sayuran kol yang segar. Ternyata daging srundeng yang kami bawa dari rumah masih ada. Dan siaplah makan malam yang mewah. Srundeng yang kami bawa nampaknya masih ada gumpalan gumpalan daging, ternyata gumpalan tersebut adalah gumpalan kelapa yang mengeras karena proses pembekuan dari srundeng yang masih berminyak. Kamis semua tertipu dengan keadaan ini. Gumpalan tersebut ternyata bukan daging.

Malam sebenarnya belum terlalu larut, tetapi khusus untuk daerah ini tampak teralu sepi, jam baru menunjukkan pukul 20.00 tetapi kami semua malas keluar rumah, disamping udaranya yang sangat dingin, suasana kegelapan malam sungguh tidak banyak membuat kami menikmati pemandangan, lampu-lampu minyak yang terpajang di setiap rumah tidak cukup untuk menerangi pemandangan Pegunungan Dieng. Apalagi setelah seharian perjalanan fisik kami memang butuh istirahat. Setelah bercanda dan berbincang acara untuk esok harinya kami semua pulas tertidur.

Kira-kira jam 5 pagi, tiba-tiba kami dibangunkan oleh sebuah teriakan, kami segera bangun. Rupanya suara itu datang dari tempat mandi. Momok sedang menjajal tubuhnya dengan guyuran air di pagi hari berteriak karena kedinginan. Kami semuanya jadi geli, dan semakin penasaran dengan dinginnya air pancuran yang untuk mandi tersebut.
Satu-satu kamipu mengikuti untuk mandi pagi, sementara matahari dengan sangat indah mulai menampakkan diri diantara kabut dan bukit-bukit yang mengelilingi dataran dieng tersebut, sangat indah sekali.

Namun di desa itu nampaknya masih belum ada kegiatan karena disamping masih gelap karena kabut juga cuacanya yang sangat dingin. Hanya satu dua orang saja yang terlihat berlalu lalang, itupun dengan pakaian tebal dengan berselimut sarung.
Setelah kabut agak berkurang, dan cuaca agak terang kami baru keluar rumah untuk melihat-lihat.

Obyek pertama adalah peninggalan dari nenek moyang kita berupa candi-candi di dieng, yang konon merupakan candi tertua di Jawa setelah candi Borobudur. Candi-candi tersebut beberapa diantaranya tersebar, seperti candi Bima dan Arjuno, sedangkan yang lainnya menjadi satu kompleks yang terpsah dan berjarak sekitar 200 meter dari yang lain. Candi-candi tersebut dikenal dengan candi Pendowo.

Tidak begitu besar memang tapi sangat menakjubkan, karena dibuat oleh bangsa kita yang hidup sekitar 1400 tahun sebelum kita. Setelah ber foto ria kami teruskan ke Telaga Balekambang yang berjarak sekitar 300 meter dari kompleks candi.
Telaga Balekambang merupakan telaga atau danau yang berukuran sekitar 1 hektar, disekitarnya ditumbuhi rerumputan, yang menyatu dengan kompleks candi-candi. Pengunjung tidak diperbolehkan mendekati danau tersebut, karena rumput disekitar danau tersebut tumbuh diatas air danau, Jadi kalau diinjak bisa terperosok ke dalam danau. Untuk itu kami terpaksa hanya melihat telaga tersebut dari jarak yang agak jauh.

Perjalanan dilanjutkan ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon, berjarak sekitar 500 meter ke arah barat dari telaga Balekambang.

Disebut Telaga Warna karena airnya yang mempunyai warna yang beraneka ragam, ada hijau, biru, kuning dan dan tentu saja putih. Warna tersebut direfleksikan dari dasar danau tersebut yang merupakan batuan kapur.

Telaga Pengilon terletak tidak jauh dari Telaga Warna, hanya saja tidak merefleksikan warna apapun, dan konsisinya sangat jernih sehingga disebut pengilon atau cermin. Danau tersebut sangat datar kalau tidak ada ilalang disekitarnya barangkali bisa menyentuh airnya secara langsung.

Di kompleks telaga ini juga terdapat bermacam goa, yang sangat dalam, sayangnya, goa-goa tersebut tidak dibuka untuk umum, karena sering digunaan untuk bertapa atau bersemedhi. Sebut saja Goa Sumur dan Goa Semar. Daerah ini sangat rindang, dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Namun tanahnya agak licin karena banyak ditumbuhi lumut.

Ada mitos disini apabila foto bersama disekitar sini maka selalu ada keanehan, dari tiba-tiba ada sesornga yang muncul tiba-tiba sampai dengan foto tidak jadi.

Kami sempat foto disekitra gua semar, bertujuh, begitu diafdruk, ternyata pas foto yang di depan gua tersebut tidak jadi.

Kami sangat puas dengan perjalanan de Dieng.

Paginya kami harus pulang, sebagaimana telah kami sepakati kami ingin menggunakan kendaraan, karena ternyata perjalanan melalui jalan kaki sangatlah berat. Disamping tenaga kami sudah lelah dan terasa belum cukup untuk beristirahat mengembalikan stamina kami.

Jam 7 kami bersiap menuju Batur, desa terdekat yang menyediakan angkutan sampai dengan Pagilaran, mendekati Pekalongan. Setelah berpamitan seperlunya kami berangkat dengan berjalan kaki lengkap dengan ransel masing-masing dipunggung.

Sepanjang pejalanan ke Batur banak juga obyek-oyek wisata seperti sumur Jalatunda, yaitu sebuah danau yang terletak diujung bukit yangsangat dalam. Sekuat-kuat kita melempat batu keseberang tentu akan jatu kebawah danau, dat begitu curamnya hingga kita tideak bisa melihat diman batu itu jatuh ke air.

Ada lagi Kawah Candradimuka, terletak diujung bukit, kawah yang sangat atraktif dengan loncatan dan belerang yang mendidih yang cukup luas.

Kawah Seleri, kawah yang sangat luas terletak di sebuah bukit, dan masih banyak lagi.

Karena kami banyak menghabiskan waktu dengan menikmati obyek-obyek ini kami sampai di Batur jam 11 siang. Setelah bertanya kesana-kemari kendaran menuju Pagilaran dan Pekalongan sudah berangkat. Dan kendaraan berikutnya akan ada 3 hari lagi, karena memang tidak tiap hari. Tetap seminggu dua kali.

Kami sontak merasa lemas, dan tidak tahu harus bagaimana, tenaga dan perbekalan kami mulai menipis.

Tetapi keadaan tidak boleh terlalu lama,karena pada saat ini juga kami diharuskan untuk memutuskan, menunggu tiga hari disini dengan perbekalan yang menipis atau langsung melanjutkan berjalan kaki. Karena desa terdekat dari batur menuju Paklongan adalah denganperjalan kaki selama sekitar 5 jam, sehingga apabila berlama-lama makan akan kemalaman di jalan.

Saat itu juga kami teruskan berjalan kaki menuju Karang Kobar, desa terdekat.

Perjalanan itu kami lalui dengan semangat yang tinggal tersisa, tidak ada canda, dan tawa lagi, semua melakukan dengan keterpaksaan. Sepanjang jalan jarang ditemui orang untuk dimintai arahjalan. Namun karena itu adalah jalan satu-satunya maka kami tidak menemui kesulitan. Tinggal mengikuti jalan berbatuan yang biasa dilewati kendaraan roda empat.

Sampai suatu sore, dengan tidak terasa kami tiba disebut desa/perkampungan, karena haru sudah sore,maka kami menghamoir sebuah rumah yang kami anggap paling bagus karena diterangi dengan lampu petromax, lampu dengan bahan bakar minyak tanah yang disemprotkan dengan tekanan tinggi kesebuah kain berbentuk bola lampu. Nyalanya sangat terang seperti lampu neon.

Kami disambut denga ramah oleh Bapak penghuni rumah, dan menawarkan untuk beristirahat, karena perjalanan masih jauh.

Dan menyilahkan kami untuk beristirahat di sebuah kamar kosong dengan tempat tidur yang nyaman. Setelah membersihkan diri, kami diundang ke ruang makan untuk makan malam. Adalahmakan malam yang mewah selama perjalanan ini. Perbincangan kami semakin seru karena kami seolah-olah mendapatkan energi baru. Saking serunya pembicaraan hingga kami semua lua tidak ada yang mengingat dan mencatat nama dan alamat Bapak-bapak ini.

Malam itu kami istirahat dengan sangat nyaman, diiringi suara dari Arthur Kauang dari AKA Band kami pun terlelap.

Pagi sebelum kami berpamitan diajak oleh tuan rumah untuk melihat lihat sekeliling kampung oleh Bapak yang baik ini. Rupanya dia adalah seorang saudagar tembako, sempat pula ditunjukkan tempat penyimpanan daun tembako untuk dilayukan dan di cincang/diiris tipis-tipis untuk dijemur dan langsung dipasarkan.

Setelah diajak sarapan kami berpamitan dan di bawakan kami masing-masing bekal makanan untuk bekal di jalan.

Meneruskan perjalaan menuju Pagiralaran ditempuh dalam waktu seharian, kami jalani dengan lebih bersemangat, karena disampjung semakin mendekati kampung halaman ang ditandai dengan semakin seringnya ketemu orang, juga kami baru saja mendapat perlakuan yang sangat baik dari Bapak yang di karang kobar itu (sekali lagi kami menyesal tidak mencatat nama dan alamat orang itu, minimal untuk mengucapkan terima kasih malalui surat).

Akhirnya kami sampai di Pagilaran, di usat keramaiannya, ditandai dengan adanya kendaraan angkutan yang terparkir. Kami menanyakan kendaraan yang menuju Pekalongan, salah seorang menunjukka sebuah mobil pick up, tetapi berangkatnya jam 6 sore, masih sekitar dua jam lagi dari sekarang.

Setelah menanyakan ongkos dan berhitung sis uang kami, maka kamipun masuk kesebuah warung makan untuk mengisi perut yagn seharian kosong.

Jumat, 08 Mei 2009

SIX BILLION PEOPLE

“Three billion people..., together..., for ever..., “cuplikan lagu dengan judul yang sama yang diciptakan dan dinyanyikan The Marmaid (?) di tahun 1970-an ? memang tidak seterkenal “Angie” nya Mick Jagger di masa yang sama. Namun makna lagu tersebut pada saat ini ternyata sangatlah dalam.

Lagu ini menggambarkan saat itu beban dunia sudah demikian berat dengan jumlah penduduk sejumlah 3 miliar. Ketidak seimbangan alam mulai terganggu, bergesernya nilai, peradaban, kejiwaan dan temperantal manusia yang mulai berubah. Dalam lagu tersebut juga menyebutkan bahwa Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang berpenduduk besar di samping China dan India, dengan penduduk “one hundred and ten million”.

Lalu sekitar tahun 1990-an dunia mengumumkan kelahiran manusia yang ke 5 milyar. Yang di ekspose luar biasa besar melalui media televisi termasuk TV di Indonesia.

Konon kini, di akhir tahun 2007 ini, jumlah penduduk bumi sudah mencapai 6 milyar lebih, Indonesia sebagai salah satu penyumbang besar penghuni planet ini mengantongi angka sebesar 260 juta orang.

Data-data tersebut bisa jadi tidaklah terlalu persis, hal tersebut hanya akan menunjukkan betapa sebenarnya masalah jumlah penduduk ini sudah mulai dipikirkan oleh sesama penghuni dunia ini sejak lama.

Ketidak seimbangan alam, kekurangan pangan yang ditandai dengan kenaikan harga-harga pangan dan papan, banyaknya konflik dalam negeri, antar suku, agama, pembabatan hutan yang membabi buta yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan lain-lain barangkali merupakan salah satu indikasi betapa seriusnya masalah ini.

Secara pelan namun semakin menguatkan pengetahuan saya mengenai hal ini dimulai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru di tahun 1997. Setengah menganga saya agak gagap menerima kenyataan itu. Pada saat itu segalanya mulai dikuak secara vulgar, setelah berpuluh tahun bangsa Indonesia dibuai dengan berita-berita yang telah dipoles sedemikian rupa menjadikan bangsa ini banyak yang tidak menyadari permasalahan seriusnya.

Kenyataan ini menurut saya diawali dengan anjuran Pak Habibie kepada bangsa Indonesia untuk berpuasa Senin-Kamis, beberapa waktu setelah menggantikan Pak Harto sebagai Presiden RI. Dengan adanya kebiasaan puasa Senin – Kamis yang dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia, maka Indonesia akan bisa menghemat produksi beras sebesar sekian ribu ton. Dan tidak perlu lagi mengimpor beras dari luar negeri.

Anjuran ini juga sekaligus mengisyaratkan bahwa betapa rawannya negara kita di bidang pangan. Belum lagi dengan impornya kedele dan lain-lain kebutuhan pokok lainnya menunjukkan kita memang serba devisit. Sudah demikian krisisnyakah bangsa ini?. Produksi minyak yang besar yang tersebar diseluruh wilayah tetap tidak cukup memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Dengan tidak membandingkan dengan tetangga jauh kita China sebagai negara terpadat di dunia, dengan program kependudukan dengan apa yang dikenal dengan satu keluarga satu anak tiga puluh tahun lalu, kini hasilnya nyata. China mempunyai sebutan baru yaitu : negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia.

Memang tidak adil rasanya hanya menyebut program kependudukan itu saja yang menjadikannya berhasil.

Di Indonesia masalah yang harus didahulukan begitu banyak begitupun program penyelesaiannya.

Kekhawatiran kita masa kini di bidang kependudukan secara nyata sudah dirasakan oleh kita di dunia paling tidak tiga puluh tahunan lebih. Dan saat ini kita masih tetap mempunyai permasalahan yang sama tanpa ujung selesainya.


(Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi selesainya KTT Global Warning di Bali Pertengahan Desember tahun 2007, bagaimana implemantasinya?)




Bekasi, 21 Desember 2007

poem

seorang pesimistis yang tiba-tiba menjadi tidak tahu dirinya untuk menjadi apa

ketika embun mendatangi tanpa permisi
meletakkan dengan seenaknya basah diatas rambutku
aku tahu kau sedang tidak peduli, engkau tidak sedang bermimpi
hanya kutahu sepertinya ada sesuatu yang akan kumulai

wajah malam ini semakin tidak kuketahui
menatap bintang yang tanpa kutahu sedang apa dirimu
memandang awan gelap apa yang engkau geluti
bangkai kapal laut terlempar dalam makna
dalam malam dan dalam menuai mimpi-mimpi asliku

sebentar lagi diriku akan bergerak itu pasti
menyongsong kegelapan yang aku sendiri tidak tahu sebab apa ini
dari sini tentu saja semua dimulai
dari sini tentu akan diarahkan jalanku
semua akan menambah isi apakah itu wacanaku

nduk......, pirang-pirang wengi aku ra ngerti jalaran mergo opo sliramu
mecuti jagad sakiduling bumi

kemanapun kuraih hampa menjadikan diri ini trasa tanpa makna
mengambang saja rasanya
tanpa gula, tanpa rasa dapat membangkitkan gerak dalam lubuk kalbu
sekarang seyogyanya harus sudah dimulai
matahari belum juga cukup tinggi
menebar mimpi-mimpi
akankah jalan ini justru menjadi buntu oleh tujuan tidak jelasku

siapapun kurasa pernah menyetubuhi sepi
dari langit yang hanya mengernyitkan alis sinisnya

Kamis, 07 Mei 2009

Perjalanan ke Wisata Alam Pegunungan Dieng


Pada waktu liburan sekolah di bulan Agustus tahun 1970-an, secara spontan tiba-tiba kami menyatakan keinginan untuk bepergian mengisi liburan, berbagai tempat sempat kami sebut sampai akhirnya disepakati daerah Dieng untuk dikunjungi. Entah ide siapa yang memulainya. Saya, Eddy dan Yon kemudian mengajak teman yang pernah melakukan perjalanan yang serupa.

Tidak lama kami segera mendapatkan Hendra untuk diajak. Tetapi perawakan Hendra kami anggap biasa-biasa saja, bahkan boleh dibilang kurus. Untuk perjalanan yang nampaknya berat ini kami menganggap perlu mengajak seorang teman lagi yang mempunyai perawakan yang kekar, yang bisa cukup diandalkan. Pencarian ini tidak cukup sulit karena Momok yang kami incar menyatakan kesediaannya menemani kami melakukan perjalanan.. Eddy sendiri mengajak adiknya yang bernama Iman.

Akhirnya rombongan kecilpun terbentuk Saya, Eddy, Yon, Iman (adik dari Eddy), Hendra dan Momok, Jam 06.00 pagi sudah berkumpul di rumah dengan membawa bekal lengkap dengan peralatan memasak sederhana.

Setelah melakukan pengecekan terakhir, khususnya mengenai bawaan dan bekal masing-masing seperti senter, panci, tenda, dan bahan-bahan makanan mentah siap saji, dan uang secukupnya segera kami mencarter dua becak menuju pangkalan angkutan pedesaan di Jalan Gajah Mada (THR) Pekalongan.

Setelah menunggu agak lama, karena angkutan pedesaan tersebut menunggu penumpang penuh, akhirnya berangkat jam 08.00 pagi. Mobil pedesaan tersebut memang merupakan angkutan pedesaan, terbukti masing-masing penumpang membawa belanjaan dari kota seperti ayam, beras dan bahan-bahan kebutuhan lainnya terangkut diatas mobil, ada beberapa ternak seperti ayam, bebek, sedangkan di kanan kiri mobil tidak luput dari bawaan yang diikat dengan badan mobil.

Sekitar setengah jam kami sampai di Desa Limpung, Desa Limpung adalah masuk wilayah Kabupaten Batang, masih di tepi jalan raya menuju Semarang.

Limpung adalah daerah ditengah-tengah hutan jati yang rimbun, daerah ini dikenal sebagai pangkalan truk dimana supir-supir beristirahat sambil mendinginkan mesin mereka, karena setelah Limpung ini jalanan akan mendaki melewati hutan jati yang disebut alas Roban menuju Semarang.

Dan rupanya kendaraan kami berhenti hanya sampai disini saja, sehingga untuk naik kearah selatan kami harus pindah dan ganti kendaraan lain. Setelah bertanya kesana-kesini, akhirnya kami mendapati angkutan yang menuju desa Bawang, tetapi tidak ada angkutan yang langsung menuju Bawang. Tetapi cukup sampai Desa Sukarejo, kira-kira 13 KM dari Limpung tempat kami naik kendaraan yang pertama. Dengan kondisi mobil tidak kalah padatnya dengan kendaraan yang pertama, akhirnya dengan maklum kami ikuti saja kemana arah mobil itu, Momok dan Hendra bahkan tidak kebagian tempat didalam mobil, mereka berdua naik diatas mobil.

Dari Limpung menuju Sukoreja jalanan mulai mendaki, dan agar tidak terlalu curam jalan itu dibuat melingkar-lingkar merayapi gunung-gunung kecil, diperjalanan kami sempat melihat bungkusan arem-arem terlempar dari atas mobil. Agaknya Momok dan Hendra sudah mulai membuka bekalnya. Kami yang ada di dalam mobil hanya memandang dengan penuh harapan mudah-mudahan bekal arem-arem tidak dihabiskan oleh mereka berdua saja.

Jalanan yang berliku-liku dan kondisi penumpang yang penuh sesak menjadikan kami mulai merasakan ketidak nyamanan, beberapa diantara kami sudah mulai pusing-pusing. Maklum perjalanan yang seperti ini memang baru pertama kami alami. Canda dan tawa selama perjalanan tidak seceria waktu menumpang mobil yang pertama, bahkan sedikit-demi sedikit mulai menciutkan tekad kami, dan sempat ada pertanyaan akankah kita akan lanjutkan perjalanan ini ?.

Akhirnya angkutan itupun sampai juga di Sukorejo.

Momok mabuk berat, hingga mengeluarkan segala isi perutnya, termasuk arem-arem yang dimakan diatas mobil sewaktu dalam perjalanan. Kami semua sebetulnya tidak kalah pusingnya dengan Momok, bedanya kami tidak sampai mengeluarkannya.

Kami sepakat untuk beristirahat, sambil mencari informasi apakah ada kendaraan yang semakin mendekatkan kami dengan tujuan yaitu Dieng. Akhirnya diketahui kendaraan yang dimaksud yang menuju Pasar Bawang. Hanya saja kendaraannya belum tersedia, sehingga kesempatan kami untuk beristirahat semakin banyak. Di halaman Kecamatan Limpung kami duduk dirumput melepaskan penat, sambil satu-satu mengeluarkan bekal matang yang siap santap. Udara sejuk mulai menyergap. Dan beberapa mengeluarkan baju hangat, dan memakainya.

Akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu datang juga setelah menurunkan penumpang yang dari Bawang, satu-satu kami naik mobil jenis pick up, dihari biasa tidak dihari pasaran angkutan dan penumpangnya sangat jarang. Sekali lagi kami harus menunggu dengan sabar keberangkatan mobil sejenis pick up ini.

Sekitar satu jam menunggu akhirnya seseorang memungut biaya dari para penumpang, setelah selesai baru suara mobil mulai meraung-raung, perjalanan semakin berat, dengan kondisi jalan yang lebih berat dengan perjalanan sebelumnya. pemandangan yang sebenarnya cukup bagus tidak sempat kami nikmati karena posisi kami di dalam pick up yang penuh dengan penumpang dan barang sehingga tidak ada kesempatan melihat pemandangan di luar.

Mobil tiba di Pasar Bawang sekitar tengah hari, waktu tersebut kami pergunakan untuk melengkapi membeli sesuatu yang akan dibutuhkan seperti bahan makanan dan lain-lain.

Setelah selesai, kami segera berjalan menuju kearah selatan, melewati jalan setapak yang berbatu.. Perjalanan ini memakan waktu sekitar setengah jam kami berjalan kami segera beristirahat, karena hari sudah siang. Kami beristirahat didekat sebuah warung kopi. Membayang warung kopi jangan dibayangkan seperti warung kopi disebuah perkotaan di Pekalngan misalnya. Warung kopi tersebut hanya berupa atap rumpai ukuran sekitar 2 x 3 meter dengan alas dari ilalang kering dan batu-batuan sebagai tempat duduk dan tempat jajanan.

Setelah melakukan dialog dengan pemilik warung, akhirnya didapat informasi bahwa perjalanan ke Dieng masih cukup jauh dan membutuhkan waktu lama, untuk memaksakan perjalanan ke Dieng bisa sampai malam.

Akhirnya kami memikirkan untuk berangkat pagi-pagi besok pagi, namun untuk menunggu besok kami harus menginap dimana, sementara disekitar tempat ini hanya berupa ladang di tepi hutan yang jauh dari rumah penduduk.

Sambil memikirkan dimana kami akan menginap. kami melakukan berbagai kegiatan, termasuk menanak nasi dengan peralatan seadanya untuk persiapan makan siang. Air didapat dari mata air yang mengalir melalui saluran kecil. Dengan berbekal semangat akhirnya jadilah nasi liwet hangat, dengan lauk matang yang kami bawa akhirnya menikmati nasi hangat di udara terbuka. Dengan cuaca yang sejuk membuat nasi panaspun menjadi sepat dingin.


Tidak berapa lama kami serentak hampir berteriak kegirangan begitu melihat pemilik warung membereskan barang dagangannya. Kami hampir bersamaan menanyakan mau kemana ?. Si pemilik warung menjawab bahwa ia akan pulang kerumah dan menutup warungnya karena di daerah sini setelah jam 2 siang tidak ada orang lewat yang singgah.

Ya. Akhirnya kami mendapatkan tempat untuk menginap untuk malam ini. Yaitu bekas warung kopi. Dengan ukuran yang begitu kecil tentu tidak dapat menampung semua dari kami sekaligus. Tetapi tetapi sangat berharga sekali dalam konsisi seperti itu.

Setelah pemilik warung pergi, kami segera menduduki wilayah tersebut dengan sigap, barang-barang bawaan seperti ransel digunakan sebagai bantal, sedangkan secarik kain semacam tenda kami pakai untuk menahan angin malam yang nampaknya bakal dingin.

Sambil menunggu malam kami sempat jalan-jalan mengenal lingkungan, nampaknya daerah ini merupakan tanah produktif yang ditanami jagung, sebagian sudah matang dan siap untuk dipetik. agak turun lagi kami temukan sebuah sungai kecil yang jernih degnan batu-batuan yang besar-besar.

Melihat sungai yang jernih dengan batu-batu alam yang indah, kami tidak tahan untuk memanfaatkannya. apalagi seharian kami setelah diliputi debu belum sempat mandi.

Mandi diudara terbuka dengan air sungai yang jernih langsung dari sumbernya membuat badan terasa segar kembali, segala lelah dan pegal-pegal seakan hilang seketika.

Hari mulai malam,, kami mulai menutup tubuh kami dengan baju yang lebih tebal untuk menahan udara dingin yang mulai datang. Lampu minyak khusus untuk kamping yang kami pinjam dari seseorang kami nyalakan. Nyalanya memang tidak begitu terang, tetapi karena kegelapan yang sangat pekat, maka menjadi sangat berharga untuk berbagai kegiatan, termasuk bermain kartu sambil menyetel radio dan kaset.

Setelah makan malam dengan menu yang kurang lebih sama dengan makan siang, akhirnya satu-satu dari kami mulai terserang kantuk, dan karena tempatnya yang terbatas maka kami lakukan dengan bergiliran, tiga orang tidur dan lainnya jaga, dengan waktu disepakati tiap dua jam.

Pada saat giliran jaga adalah hal yang sangat menjemukan selain menahan rasa kantuk. Untuk menghilangkan kejenuhan itu maka kami berkeliling kekebon jagung. dengan berbekal senter, lalu terpikir hal yang tidak terpuji, dengan dililit perut lapar tengah malam melihat buah jagung yang siap panen. kami memetik beberapa buah.

Setelah kembali ke base camp bekas warung kopi, segera membuat api unggun dan jagung-jagung curian itu kami bakar. Dan segera kami santap sebagai pengganjal perut ditengah malam. Rasanya enak, manis karena baru saja dipetik dari pohonnya. Setelah selesai makan jagung bakar kami membangunkan ketiga rekan kami untuk bergantian jaga, karena memang waktunya sudah habis. Dengan berat mereka bangun dan mempersilahkan kami untuk menggantikan tidurnya. Sebelum pulas tertidur terdengan sayup-sayup suara teman kami itu menemukan bekas jagung bakar yang sudah tanpa sisa itu. Dengan tersenyum akhirnya saya tertidur pulas dengan perut yang kenyang.

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit kami sudah bangun dan sebagian merebus air dan menyiapkan teh hangat manis, sebagian lagi menyiapkan sarapan. menu sarapan hari itu adalah mi instan merk Super Mi. Dan setalah selesai yang lainnya bertugas mencuci piring plasitk dan panci andalam kami.

Bagitu terbit matahari kami sudah siap melakukan perjalanan kearah selatan, tidak lama kemudian sudah masuk ke dalam hutan, rupanya tempat kami menginap itu adalah beraeda ditepi hutan. Apabila pada waktu itu memaksakan untuk tidak beristirahat maka akan mengalami bermalam di hutan.

Jalanan mulai berat dengan kemiringan yang kadang-kadang sampai 60%, licin karena lembab dan jalanan ditumbuhi lumut, udara sejuk cenderung dingin sehingga tidak ada kesempatan keringat keluar dari pori-pori.

Namun di luar itu semua ada pemandangan yang sangat menakjubkan, dengan pemandangan alam yang serba hijau, bunga-bunga yang hanya terlihat dipameran-pameran dan toko bunga tumbuh dengan liar disini. Berbagai jenis pohon palem dan anggrek dengan suburnya tumbuh dan mekar. Suara tengkoret dan serangga lainnya menambah merdunya perjalanan ini sehingga tidak terasa lelah, walaupun melalui medan yang cukup sulit, Kadang-kadang kami harus hati-hati meniti ditepi jurang yang menganga. Kadang-kadang harus menyingkapkan semak-semak yang menghalangi pandangan,

Sekali-kali kami menjumpai orang melintas, dan tidak lupa menanyakan apakah Dieng masih jauh. Jawabnya kurang lebih sama, oh sampun celak, tinggal beberapa unthuk lagi. Tidak tahunya “unthuk” yang disebut adalah bukit yang harus kita lewati. Untuk menaiki satu bukit kami harus berisirahat dua sampai tiga kali.

Suatu ketika kami menjumpai persimpangan jalan, satu kearah kanan atas dan satu lagi kearah kiri yang mendatar kearah sawah-sawah. Hendro yang kami andalkan karena pernah melakukan perjalanan ini lupa jalannya. Kami agak bingung, mau bertanya tidak ada orang, sambil istirahat kami menunggu orang lewat untuk ditanyai. Setelah cukup lama akhirnya kami bersepakat memilih jalan datar, karena dikejauhan nampak seperti ada perumahan penduduk. Dengan mantap kami melakukan perjalanan dengan tegak setelah sekian lama beristirahat. Setelah sekitar 500 meter kami menemukan penduduk setempat yang melintas dan menanyakan jalan kearah Dieng. Ternyata kami salah mengambil jalan. Terpaksa kami harus kembali dan mengambil jalan yang lain. Perjalanan kembali tersebut sangat menjadikan kami down dan patah semangat. Karena perjalanan sekian jauh menjadi sia-sia. kami menyesali berulang-ulang, mengapa tidak sabar menunggu orang ini lewat, baru memutuskan memilih jalan. namun dengan satu tekad dan adanya kekhawatiran kemalaman di jalan kami teruskan perjalanan.

Semakin tinggi kami mendaki pemandangan menjadi semakin menakjubkan, suatu saat kami berada di salah satu tempat yang tinggi sehingga dapat melihat tempat lain yang lebih rendah, terlihat ada perkampungan kecil yang tepencil di tengah-tengah hutan. Seakan-akan kami berada ditempat yang paling tinggi.

Udara semakin dingin, dan kabut sekali-kali menghalangi pandangan kami, untuk itu kami harus ekstra hati-hati, karena jurang yang kadang berada disisi jalan setapak tidak terlihat karena tertutup kabut.

Sesekali kami melewati sekelompok rumah, karena terlalu kecil untuk disebut desa, dan kami memanfaatkan dengan meminta air putih untuk bekal di jalan atau diminum di tempat.

Ada pula warga merasa simpati pada kami, sehingga tidak hanya air yang suguhkan tetapi juga makanan kecil, seperti kacang, ubi rebus dan lain-lain. Kami juga disediakan tempat untuk beristirahat dan sambil membersihkan diri dikamar mandi. Kamar mandi yang disediakan adalah sejenis ruangan tanpa atap di luar rumah, dengan air pancuran yang berasal dari mata air. Airnya sangat dingin, mungkin sedikit diatas nol derajat celcius. karena kalau nol derajat tidak lagi bisa mengalir, alias membeku.

Beristirahat semacam ini berarti semakin membuat malas dan berat untuk memulai perjalanan yang masih panjang, oleh karena itu kami tidak berani berlama-lama, sejenak kami berpamitan sambil mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.

Walaupun pada bulan Agustus masih merupakan musim kemarau, musim ini tidak berlaku bagi daerah pegunungan, udara yang lembab dan suhu yang terendah terjadi pada bulan ini. Hujan sering turun di wilayah ini. Apabila datang hujan kami berteduh di gardu-gardu dengan atap ilalang yang tanpa penghuni. Baju yang basah kena hujan dan menempel di badan berkali-kali kering oleh suhu badannya sendiri. Apabila baju dalam keadaan basah, dan berteduh rasanya semakin dingin oleh tiupan angin. Sehingga tidak jarang kami putuskan untuk meneruskan berjalan di bawah hujan, dingin memang tetapi lebih dingin lagi apabila berteduh. Dan baju yang basah akan kering dengan sendirinya apabila hujan mereda dan sinar matahari bersama-sama suhu tubuh kami akan segera membuatnya kering kembali.

Tanpa terasa jam sudah menunjukkan jam 4 sore kurang. Kami berpapasan dengan warga, seperti biasanya setiap bertemu warga, yang kami tanyakan selalu sama yaitu : Apakah Dieng masih jauh ?. Dan kami hampir borsorak kegirangan ketika ibu-ibu itu menjawab : lha dibalik bukit itu lah Dieng. Setelah mengucapkan terima kasih atas keterangannya dengan disertai tenaga ekstra karena rasa senang kami yang berlebihan, kami berkejaran susul menyusul mendaki bukit terakhir yang berjarak sekitar 100 meteran lagi.

Momok yang duluan sampai dipuncak bukit, diikuti Eddy, nampak seperti terpesona tanpa banyak ngomong. Hal ini membuat kami semakin penasaran. Setelah kami semua sampai dipuncak bukit kami merasa takjub dengan pemandangan yang terhampar didepan kaki kami, Sebuah pemukiman yang mengelilingi telaga yang tenang nampak samar-samar karena terbungkus kabut tipis. Pemukiman Dieng yang seperti sebuah mangkok raksasa dikelilingi bukit-bukit yang menjulang, semakin memberi kesan tenang dan damai.

Kami berpelukan dan berteriak kegirangan, kami tidak mengira bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan akhir yang tidak kami duga.

Tanpa berpikir untuk beristirahat kami segera menuruni bukit terakhir yang kami daki tersebut, menuju Dataran Tinggi Dieng yang pesona alamnya menjadikannya sebuah Taman Wisata yang banyak dikunjungi tidak hanya turis domestik tetapi juga luar negeri.

Berjuta-juta tahun lalu pegunungan Dieng adalah merupakan sebuah gunung berapi aktif. Setelah mengalami proses alam yang memakan waktu lama, bagian puncak gunung ini amblas dan sampai kini membentuk sebuah daratan luas. Semburan lava belerang berada paling tidak di banyak tempat yang berbeda, paling tidak terdapat : Kawah Sikidang yang berada tepat didataran Dieng yang seperti mangkok raksasa, konon kawah ini selalu berpindah-pindah, sesuai dengan namanya Si kidang (Kidang = Rusa), ada juga kawah Seleri yang berpenampilan lebih tenang.

Selain kawah, juga terdapat beberapa goa yang beberapa diantaranya dianggb berbahaya karena kadang-kadang mengeluarkan gas beracun. Ada juga yang cukup aman dan tidak mengeluarkan gas beracun, sebut saja goa Semar dan goa Sumur yang sering dipakai untuk bersemedhi
.
Yang menarik untuk dilihat adalah juga telaga atau danau yang ada di beberapa tempat. yang paling banyak dikunjungi para wisatawan sebut saja : Telaga Warna (karena airnya berwarna-warni) dan Telaga Pengilon.

Dan yang sangat mengagumkan adalah beberapa peninggalan dari nenek moyong berupa candi-candi seperti : candi Arjuna, Candi Bimo, Candi Nakulo-Sadewo yang menunjukkan bahwa tempat ini juga merupakan tempat peribadatan agama Hindu kuno pada abad ke enam atau pada jaman Sjeilendra.

Bukti sejarah lainnya adalah berupa bekas rumah atau gedung yang berukuran sekitar 50 m x 20 m yang tiersisa hanya pondasi di keempat sudut banguna dan sebagian kecil dinding dari batu. sedang tiang-tiang dan atapnya sudah tidak ada. Peninggalan ini pada saya menyempatkan diri berkunjung kesana (tahun 2005) sudah tidak terlihat,

(Saya ingin mendapatkan kabar dan keberadaannya, Dimana kalian)