Kamis, 07 Mei 2009

Perjalanan ke Wisata Alam Pegunungan Dieng


Pada waktu liburan sekolah di bulan Agustus tahun 1970-an, secara spontan tiba-tiba kami menyatakan keinginan untuk bepergian mengisi liburan, berbagai tempat sempat kami sebut sampai akhirnya disepakati daerah Dieng untuk dikunjungi. Entah ide siapa yang memulainya. Saya, Eddy dan Yon kemudian mengajak teman yang pernah melakukan perjalanan yang serupa.

Tidak lama kami segera mendapatkan Hendra untuk diajak. Tetapi perawakan Hendra kami anggap biasa-biasa saja, bahkan boleh dibilang kurus. Untuk perjalanan yang nampaknya berat ini kami menganggap perlu mengajak seorang teman lagi yang mempunyai perawakan yang kekar, yang bisa cukup diandalkan. Pencarian ini tidak cukup sulit karena Momok yang kami incar menyatakan kesediaannya menemani kami melakukan perjalanan.. Eddy sendiri mengajak adiknya yang bernama Iman.

Akhirnya rombongan kecilpun terbentuk Saya, Eddy, Yon, Iman (adik dari Eddy), Hendra dan Momok, Jam 06.00 pagi sudah berkumpul di rumah dengan membawa bekal lengkap dengan peralatan memasak sederhana.

Setelah melakukan pengecekan terakhir, khususnya mengenai bawaan dan bekal masing-masing seperti senter, panci, tenda, dan bahan-bahan makanan mentah siap saji, dan uang secukupnya segera kami mencarter dua becak menuju pangkalan angkutan pedesaan di Jalan Gajah Mada (THR) Pekalongan.

Setelah menunggu agak lama, karena angkutan pedesaan tersebut menunggu penumpang penuh, akhirnya berangkat jam 08.00 pagi. Mobil pedesaan tersebut memang merupakan angkutan pedesaan, terbukti masing-masing penumpang membawa belanjaan dari kota seperti ayam, beras dan bahan-bahan kebutuhan lainnya terangkut diatas mobil, ada beberapa ternak seperti ayam, bebek, sedangkan di kanan kiri mobil tidak luput dari bawaan yang diikat dengan badan mobil.

Sekitar setengah jam kami sampai di Desa Limpung, Desa Limpung adalah masuk wilayah Kabupaten Batang, masih di tepi jalan raya menuju Semarang.

Limpung adalah daerah ditengah-tengah hutan jati yang rimbun, daerah ini dikenal sebagai pangkalan truk dimana supir-supir beristirahat sambil mendinginkan mesin mereka, karena setelah Limpung ini jalanan akan mendaki melewati hutan jati yang disebut alas Roban menuju Semarang.

Dan rupanya kendaraan kami berhenti hanya sampai disini saja, sehingga untuk naik kearah selatan kami harus pindah dan ganti kendaraan lain. Setelah bertanya kesana-kesini, akhirnya kami mendapati angkutan yang menuju desa Bawang, tetapi tidak ada angkutan yang langsung menuju Bawang. Tetapi cukup sampai Desa Sukarejo, kira-kira 13 KM dari Limpung tempat kami naik kendaraan yang pertama. Dengan kondisi mobil tidak kalah padatnya dengan kendaraan yang pertama, akhirnya dengan maklum kami ikuti saja kemana arah mobil itu, Momok dan Hendra bahkan tidak kebagian tempat didalam mobil, mereka berdua naik diatas mobil.

Dari Limpung menuju Sukoreja jalanan mulai mendaki, dan agar tidak terlalu curam jalan itu dibuat melingkar-lingkar merayapi gunung-gunung kecil, diperjalanan kami sempat melihat bungkusan arem-arem terlempar dari atas mobil. Agaknya Momok dan Hendra sudah mulai membuka bekalnya. Kami yang ada di dalam mobil hanya memandang dengan penuh harapan mudah-mudahan bekal arem-arem tidak dihabiskan oleh mereka berdua saja.

Jalanan yang berliku-liku dan kondisi penumpang yang penuh sesak menjadikan kami mulai merasakan ketidak nyamanan, beberapa diantara kami sudah mulai pusing-pusing. Maklum perjalanan yang seperti ini memang baru pertama kami alami. Canda dan tawa selama perjalanan tidak seceria waktu menumpang mobil yang pertama, bahkan sedikit-demi sedikit mulai menciutkan tekad kami, dan sempat ada pertanyaan akankah kita akan lanjutkan perjalanan ini ?.

Akhirnya angkutan itupun sampai juga di Sukorejo.

Momok mabuk berat, hingga mengeluarkan segala isi perutnya, termasuk arem-arem yang dimakan diatas mobil sewaktu dalam perjalanan. Kami semua sebetulnya tidak kalah pusingnya dengan Momok, bedanya kami tidak sampai mengeluarkannya.

Kami sepakat untuk beristirahat, sambil mencari informasi apakah ada kendaraan yang semakin mendekatkan kami dengan tujuan yaitu Dieng. Akhirnya diketahui kendaraan yang dimaksud yang menuju Pasar Bawang. Hanya saja kendaraannya belum tersedia, sehingga kesempatan kami untuk beristirahat semakin banyak. Di halaman Kecamatan Limpung kami duduk dirumput melepaskan penat, sambil satu-satu mengeluarkan bekal matang yang siap santap. Udara sejuk mulai menyergap. Dan beberapa mengeluarkan baju hangat, dan memakainya.

Akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu datang juga setelah menurunkan penumpang yang dari Bawang, satu-satu kami naik mobil jenis pick up, dihari biasa tidak dihari pasaran angkutan dan penumpangnya sangat jarang. Sekali lagi kami harus menunggu dengan sabar keberangkatan mobil sejenis pick up ini.

Sekitar satu jam menunggu akhirnya seseorang memungut biaya dari para penumpang, setelah selesai baru suara mobil mulai meraung-raung, perjalanan semakin berat, dengan kondisi jalan yang lebih berat dengan perjalanan sebelumnya. pemandangan yang sebenarnya cukup bagus tidak sempat kami nikmati karena posisi kami di dalam pick up yang penuh dengan penumpang dan barang sehingga tidak ada kesempatan melihat pemandangan di luar.

Mobil tiba di Pasar Bawang sekitar tengah hari, waktu tersebut kami pergunakan untuk melengkapi membeli sesuatu yang akan dibutuhkan seperti bahan makanan dan lain-lain.

Setelah selesai, kami segera berjalan menuju kearah selatan, melewati jalan setapak yang berbatu.. Perjalanan ini memakan waktu sekitar setengah jam kami berjalan kami segera beristirahat, karena hari sudah siang. Kami beristirahat didekat sebuah warung kopi. Membayang warung kopi jangan dibayangkan seperti warung kopi disebuah perkotaan di Pekalngan misalnya. Warung kopi tersebut hanya berupa atap rumpai ukuran sekitar 2 x 3 meter dengan alas dari ilalang kering dan batu-batuan sebagai tempat duduk dan tempat jajanan.

Setelah melakukan dialog dengan pemilik warung, akhirnya didapat informasi bahwa perjalanan ke Dieng masih cukup jauh dan membutuhkan waktu lama, untuk memaksakan perjalanan ke Dieng bisa sampai malam.

Akhirnya kami memikirkan untuk berangkat pagi-pagi besok pagi, namun untuk menunggu besok kami harus menginap dimana, sementara disekitar tempat ini hanya berupa ladang di tepi hutan yang jauh dari rumah penduduk.

Sambil memikirkan dimana kami akan menginap. kami melakukan berbagai kegiatan, termasuk menanak nasi dengan peralatan seadanya untuk persiapan makan siang. Air didapat dari mata air yang mengalir melalui saluran kecil. Dengan berbekal semangat akhirnya jadilah nasi liwet hangat, dengan lauk matang yang kami bawa akhirnya menikmati nasi hangat di udara terbuka. Dengan cuaca yang sejuk membuat nasi panaspun menjadi sepat dingin.


Tidak berapa lama kami serentak hampir berteriak kegirangan begitu melihat pemilik warung membereskan barang dagangannya. Kami hampir bersamaan menanyakan mau kemana ?. Si pemilik warung menjawab bahwa ia akan pulang kerumah dan menutup warungnya karena di daerah sini setelah jam 2 siang tidak ada orang lewat yang singgah.

Ya. Akhirnya kami mendapatkan tempat untuk menginap untuk malam ini. Yaitu bekas warung kopi. Dengan ukuran yang begitu kecil tentu tidak dapat menampung semua dari kami sekaligus. Tetapi tetapi sangat berharga sekali dalam konsisi seperti itu.

Setelah pemilik warung pergi, kami segera menduduki wilayah tersebut dengan sigap, barang-barang bawaan seperti ransel digunakan sebagai bantal, sedangkan secarik kain semacam tenda kami pakai untuk menahan angin malam yang nampaknya bakal dingin.

Sambil menunggu malam kami sempat jalan-jalan mengenal lingkungan, nampaknya daerah ini merupakan tanah produktif yang ditanami jagung, sebagian sudah matang dan siap untuk dipetik. agak turun lagi kami temukan sebuah sungai kecil yang jernih degnan batu-batuan yang besar-besar.

Melihat sungai yang jernih dengan batu-batu alam yang indah, kami tidak tahan untuk memanfaatkannya. apalagi seharian kami setelah diliputi debu belum sempat mandi.

Mandi diudara terbuka dengan air sungai yang jernih langsung dari sumbernya membuat badan terasa segar kembali, segala lelah dan pegal-pegal seakan hilang seketika.

Hari mulai malam,, kami mulai menutup tubuh kami dengan baju yang lebih tebal untuk menahan udara dingin yang mulai datang. Lampu minyak khusus untuk kamping yang kami pinjam dari seseorang kami nyalakan. Nyalanya memang tidak begitu terang, tetapi karena kegelapan yang sangat pekat, maka menjadi sangat berharga untuk berbagai kegiatan, termasuk bermain kartu sambil menyetel radio dan kaset.

Setelah makan malam dengan menu yang kurang lebih sama dengan makan siang, akhirnya satu-satu dari kami mulai terserang kantuk, dan karena tempatnya yang terbatas maka kami lakukan dengan bergiliran, tiga orang tidur dan lainnya jaga, dengan waktu disepakati tiap dua jam.

Pada saat giliran jaga adalah hal yang sangat menjemukan selain menahan rasa kantuk. Untuk menghilangkan kejenuhan itu maka kami berkeliling kekebon jagung. dengan berbekal senter, lalu terpikir hal yang tidak terpuji, dengan dililit perut lapar tengah malam melihat buah jagung yang siap panen. kami memetik beberapa buah.

Setelah kembali ke base camp bekas warung kopi, segera membuat api unggun dan jagung-jagung curian itu kami bakar. Dan segera kami santap sebagai pengganjal perut ditengah malam. Rasanya enak, manis karena baru saja dipetik dari pohonnya. Setelah selesai makan jagung bakar kami membangunkan ketiga rekan kami untuk bergantian jaga, karena memang waktunya sudah habis. Dengan berat mereka bangun dan mempersilahkan kami untuk menggantikan tidurnya. Sebelum pulas tertidur terdengan sayup-sayup suara teman kami itu menemukan bekas jagung bakar yang sudah tanpa sisa itu. Dengan tersenyum akhirnya saya tertidur pulas dengan perut yang kenyang.

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit kami sudah bangun dan sebagian merebus air dan menyiapkan teh hangat manis, sebagian lagi menyiapkan sarapan. menu sarapan hari itu adalah mi instan merk Super Mi. Dan setalah selesai yang lainnya bertugas mencuci piring plasitk dan panci andalam kami.

Bagitu terbit matahari kami sudah siap melakukan perjalanan kearah selatan, tidak lama kemudian sudah masuk ke dalam hutan, rupanya tempat kami menginap itu adalah beraeda ditepi hutan. Apabila pada waktu itu memaksakan untuk tidak beristirahat maka akan mengalami bermalam di hutan.

Jalanan mulai berat dengan kemiringan yang kadang-kadang sampai 60%, licin karena lembab dan jalanan ditumbuhi lumut, udara sejuk cenderung dingin sehingga tidak ada kesempatan keringat keluar dari pori-pori.

Namun di luar itu semua ada pemandangan yang sangat menakjubkan, dengan pemandangan alam yang serba hijau, bunga-bunga yang hanya terlihat dipameran-pameran dan toko bunga tumbuh dengan liar disini. Berbagai jenis pohon palem dan anggrek dengan suburnya tumbuh dan mekar. Suara tengkoret dan serangga lainnya menambah merdunya perjalanan ini sehingga tidak terasa lelah, walaupun melalui medan yang cukup sulit, Kadang-kadang kami harus hati-hati meniti ditepi jurang yang menganga. Kadang-kadang harus menyingkapkan semak-semak yang menghalangi pandangan,

Sekali-kali kami menjumpai orang melintas, dan tidak lupa menanyakan apakah Dieng masih jauh. Jawabnya kurang lebih sama, oh sampun celak, tinggal beberapa unthuk lagi. Tidak tahunya “unthuk” yang disebut adalah bukit yang harus kita lewati. Untuk menaiki satu bukit kami harus berisirahat dua sampai tiga kali.

Suatu ketika kami menjumpai persimpangan jalan, satu kearah kanan atas dan satu lagi kearah kiri yang mendatar kearah sawah-sawah. Hendro yang kami andalkan karena pernah melakukan perjalanan ini lupa jalannya. Kami agak bingung, mau bertanya tidak ada orang, sambil istirahat kami menunggu orang lewat untuk ditanyai. Setelah cukup lama akhirnya kami bersepakat memilih jalan datar, karena dikejauhan nampak seperti ada perumahan penduduk. Dengan mantap kami melakukan perjalanan dengan tegak setelah sekian lama beristirahat. Setelah sekitar 500 meter kami menemukan penduduk setempat yang melintas dan menanyakan jalan kearah Dieng. Ternyata kami salah mengambil jalan. Terpaksa kami harus kembali dan mengambil jalan yang lain. Perjalanan kembali tersebut sangat menjadikan kami down dan patah semangat. Karena perjalanan sekian jauh menjadi sia-sia. kami menyesali berulang-ulang, mengapa tidak sabar menunggu orang ini lewat, baru memutuskan memilih jalan. namun dengan satu tekad dan adanya kekhawatiran kemalaman di jalan kami teruskan perjalanan.

Semakin tinggi kami mendaki pemandangan menjadi semakin menakjubkan, suatu saat kami berada di salah satu tempat yang tinggi sehingga dapat melihat tempat lain yang lebih rendah, terlihat ada perkampungan kecil yang tepencil di tengah-tengah hutan. Seakan-akan kami berada ditempat yang paling tinggi.

Udara semakin dingin, dan kabut sekali-kali menghalangi pandangan kami, untuk itu kami harus ekstra hati-hati, karena jurang yang kadang berada disisi jalan setapak tidak terlihat karena tertutup kabut.

Sesekali kami melewati sekelompok rumah, karena terlalu kecil untuk disebut desa, dan kami memanfaatkan dengan meminta air putih untuk bekal di jalan atau diminum di tempat.

Ada pula warga merasa simpati pada kami, sehingga tidak hanya air yang suguhkan tetapi juga makanan kecil, seperti kacang, ubi rebus dan lain-lain. Kami juga disediakan tempat untuk beristirahat dan sambil membersihkan diri dikamar mandi. Kamar mandi yang disediakan adalah sejenis ruangan tanpa atap di luar rumah, dengan air pancuran yang berasal dari mata air. Airnya sangat dingin, mungkin sedikit diatas nol derajat celcius. karena kalau nol derajat tidak lagi bisa mengalir, alias membeku.

Beristirahat semacam ini berarti semakin membuat malas dan berat untuk memulai perjalanan yang masih panjang, oleh karena itu kami tidak berani berlama-lama, sejenak kami berpamitan sambil mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.

Walaupun pada bulan Agustus masih merupakan musim kemarau, musim ini tidak berlaku bagi daerah pegunungan, udara yang lembab dan suhu yang terendah terjadi pada bulan ini. Hujan sering turun di wilayah ini. Apabila datang hujan kami berteduh di gardu-gardu dengan atap ilalang yang tanpa penghuni. Baju yang basah kena hujan dan menempel di badan berkali-kali kering oleh suhu badannya sendiri. Apabila baju dalam keadaan basah, dan berteduh rasanya semakin dingin oleh tiupan angin. Sehingga tidak jarang kami putuskan untuk meneruskan berjalan di bawah hujan, dingin memang tetapi lebih dingin lagi apabila berteduh. Dan baju yang basah akan kering dengan sendirinya apabila hujan mereda dan sinar matahari bersama-sama suhu tubuh kami akan segera membuatnya kering kembali.

Tanpa terasa jam sudah menunjukkan jam 4 sore kurang. Kami berpapasan dengan warga, seperti biasanya setiap bertemu warga, yang kami tanyakan selalu sama yaitu : Apakah Dieng masih jauh ?. Dan kami hampir borsorak kegirangan ketika ibu-ibu itu menjawab : lha dibalik bukit itu lah Dieng. Setelah mengucapkan terima kasih atas keterangannya dengan disertai tenaga ekstra karena rasa senang kami yang berlebihan, kami berkejaran susul menyusul mendaki bukit terakhir yang berjarak sekitar 100 meteran lagi.

Momok yang duluan sampai dipuncak bukit, diikuti Eddy, nampak seperti terpesona tanpa banyak ngomong. Hal ini membuat kami semakin penasaran. Setelah kami semua sampai dipuncak bukit kami merasa takjub dengan pemandangan yang terhampar didepan kaki kami, Sebuah pemukiman yang mengelilingi telaga yang tenang nampak samar-samar karena terbungkus kabut tipis. Pemukiman Dieng yang seperti sebuah mangkok raksasa dikelilingi bukit-bukit yang menjulang, semakin memberi kesan tenang dan damai.

Kami berpelukan dan berteriak kegirangan, kami tidak mengira bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan akhir yang tidak kami duga.

Tanpa berpikir untuk beristirahat kami segera menuruni bukit terakhir yang kami daki tersebut, menuju Dataran Tinggi Dieng yang pesona alamnya menjadikannya sebuah Taman Wisata yang banyak dikunjungi tidak hanya turis domestik tetapi juga luar negeri.

Berjuta-juta tahun lalu pegunungan Dieng adalah merupakan sebuah gunung berapi aktif. Setelah mengalami proses alam yang memakan waktu lama, bagian puncak gunung ini amblas dan sampai kini membentuk sebuah daratan luas. Semburan lava belerang berada paling tidak di banyak tempat yang berbeda, paling tidak terdapat : Kawah Sikidang yang berada tepat didataran Dieng yang seperti mangkok raksasa, konon kawah ini selalu berpindah-pindah, sesuai dengan namanya Si kidang (Kidang = Rusa), ada juga kawah Seleri yang berpenampilan lebih tenang.

Selain kawah, juga terdapat beberapa goa yang beberapa diantaranya dianggb berbahaya karena kadang-kadang mengeluarkan gas beracun. Ada juga yang cukup aman dan tidak mengeluarkan gas beracun, sebut saja goa Semar dan goa Sumur yang sering dipakai untuk bersemedhi
.
Yang menarik untuk dilihat adalah juga telaga atau danau yang ada di beberapa tempat. yang paling banyak dikunjungi para wisatawan sebut saja : Telaga Warna (karena airnya berwarna-warni) dan Telaga Pengilon.

Dan yang sangat mengagumkan adalah beberapa peninggalan dari nenek moyong berupa candi-candi seperti : candi Arjuna, Candi Bimo, Candi Nakulo-Sadewo yang menunjukkan bahwa tempat ini juga merupakan tempat peribadatan agama Hindu kuno pada abad ke enam atau pada jaman Sjeilendra.

Bukti sejarah lainnya adalah berupa bekas rumah atau gedung yang berukuran sekitar 50 m x 20 m yang tiersisa hanya pondasi di keempat sudut banguna dan sebagian kecil dinding dari batu. sedang tiang-tiang dan atapnya sudah tidak ada. Peninggalan ini pada saya menyempatkan diri berkunjung kesana (tahun 2005) sudah tidak terlihat,

(Saya ingin mendapatkan kabar dan keberadaannya, Dimana kalian)

2 komentar:

Guntoro mengatakan...

Cerita yang sangat menarik. sebuah pengalaman tak terlupakan.

Guntoro mengatakan...

Kenangan indah tak terlupakan