Selasa, 01 Desember 2009

JALAN-JALAN DI TOKYO


Jumat 25 Desember 2003, kembali kami sekeluarga siap melakukan perjalanan ke luar negeri, Jepang adalah tujuan kami saat itu. Anak-anak masih belum percaya betul bahwa hari itu kami jadi melakukan perjalanan ke Tokyo, luar negeri. Sengaja saya tidak memberitahukan kepada mereka sebelumnya karena memang proses untuk itu mengalami berbagai hambatan dan ketidak pastian selain itu juga agar anak-anak tidak terganggu konsentrasinya dalam menjalani ulangan akhir semester.

Meskipun tiket gratis dari Garuda Indonesia pulang pergi sudah ada di tangan.
Proses untuk itu memang sebenarnya kurang mulus, dan cenderung berspekulasi saja.

Persyaratan untuk mengurus visa sebenarnya memang ada kelemahannya, apalagi bagi negara yang pernah menjajah negara kita itu dikenal sebagai negara yang sangat disiplin dan ketat. Yaitu masalah jangka waktu pasport dan masalah tabungan. Jangka waktu pasport yang saya miliki adalah tinggal 3 bulan saja, sedangkan persyaratan yang ditentukan adalah minimal 6 bulan. Untuk deposito saya tidak tahu berapa minimal yang harus dipunyai, tetapi ada kabar seseorang gagal mendapatkan visa gara-gara hanya mempunyai simpanan di bank walaupun sudah menunjukkan simpanannya sebesar 70 juta.

Saya sangat bersyukur karena berbagai hambatan dapat dilewati dengan mudah, mungkin juga karena alasan kunjungan saya dan adanya “surat sakti” berupa undangan dari kakak yang ada di Tokyo. Dan keluarlah ijin memasuki negara Jepang selama dua minggu, setelah membayar fiskal sekitar 200 ribu rupiah per orang.

***

Penerbangannya dijadwalkan pukul 11 malam, tetapi untuk berjaga-jaga terjebak macet dijalan, kami sudah berada di bandara mulai pukul 8 malam. Lama perjalanan adalah 6 jam langsung menuju Tokyo, perbedaan waktu dengan WIB adalah 2 jam.

Sekitar 1 jam menjelang pendaratan terdapat pemandangan indah di sebelah Timur pesawat, yaitu semburat warna jingga di langit, menandai akan terbitnya matahari pagi.

Bersamaan dengan itu keluarlah breakfast yang sudah mulai beraroma masakan Jepang. Ketika ditawari oleh pramugari untuk memilih omlet atau nasi, dengan tangkas aku pilih nasi. Ternyata nasi ikan panggang dengan rasa Jepang masih belum mengena pada selera saja, dengan berat akhirnya selesai juga kewajiban menghabiskan hidangan itu. Setelah itu saya minum banyak-banyak untuk menetralkan lidah saya pada kondisi semula.

Begitu turun dari pesawat kami langsung mengikuti penumpang lainnya yang berjalan dengan cepat, sehingga kemegahan dan kemewahan bandara Narita tidak sempat kami nikmati dan kagumi.

Sampai pada pemeriksaan imigrasi kami sempat terhenti, dan ada masalah dengan formulir declaration yang sudah kami siapkan di pesawat. Saya rogoh kantong celana belakang dan samping, kantong baju dan jas. Astaga !, formulir itu nampaknya ketinggalan di pesawat.

Akhirnya kami diharuskan mengisi lagi formulir declaration baru oleh petugas imigrasi jepang. Dengan terburu-buru kami selesaikan tugas tersebut, dan segera menyerahkan ke petugas imigrasi yang sudah lengang karena penumpang lainnya sudah selesai melewati loket imigrasi ini, petugas imigrasi dengan teliti memeriksa dokumen yang kami serahkan. Setelah petugas menyatakan OK, dengan lega kami segera melewati imigrasi tanpa ada pemeriksaan isi koper dan tas.

Semua penumpang sudah dengan cepat menghilang dari pandangan. Kami tinggal meraba-raba saja kemana arah berikutnya. Segera kutemukan ban berjalan tempat keluarnya bagasi. Ban berjalan sudah berhenti dan kumpulan tas dan koper kami teronggok sendirian disana, itulah salah satu petunjuk kemana kami harus pergi. Dengan bergegas kami segera menghampiri mendapatkan koper kami dan cepat-cepat keluar dari salah satu pintu, dan Alhamdulillah, tepat begitu pintu terbuka aku mendapati kakak sekalian sedang menunggu menjemput.

Kami dengan menggunakan mobil van ukuran keluarga merk Toyota yang kalau di Indonesia sudah termasuk mobil mewah, menuju Meguro – Tokyo, sekitar 40 km dari bandara Narita. Sempat macet waktu memasuki kota Tokyo tepatnya ketika melewati Rainbow Bridge, jembatan yang melintasi teluk Tokyo City.
Mobil dilengkapi GPS (Global Positioning System), sebuah alat yang bisa mengetahui arah jalan dan di posisi mana mobil sedang berada, alat ini dikendalikan melalui satelit. Mobil tersebut dilengkapi pula dengan alat pendeteksi jarak dengan mobil di depan, apabila terlalu dekat dengan kecepatan tertentu, maka alat ini akan menggerakkan sistem rem pada mobil tersebut. Untuk memudahkan parkir, mobil ini juga dilengkapi kamera sudah sedekat apa mobil ini dengan benda di belakang mobil.

Kami tinggal sementara di rumah kakak di salah satu apartemen 4 lantai di daerah Meguro. Tidak jauh (sekitar 300 meter dari Balai Indonesia yang juga untuk Sekolah Republik Indonesia di Tokyo (SRIT).

***

ASAKUSA TEMPLE

Jalan-jalan pertama kami lakukan pada tanggal 26 Desember 2003 yaitu Namamishe Shoping Street di Asakusa, naik mobil di jalan raya Jepang memang terasa nyaman, pengemudi yang saling bertoleransi dengan sesama pengemudi menjadikan perjalanan dengan kendaraan serasa semakin nyaman. Namun kenyamanan tersebut terbayar dengan harga parkir yang mahal.

Tarif parkir rupanya tidak standart sebagaimana harga bensin di tiap-tiap tempat. Ada yang mempunyai tarif biasa dan ada mahal hal ini tergantung dari lokasi dan kondisi tempat parkir.

Setelah berputar-putar mencari tempat parkir kosong akhirnya kami menemukan suatu lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1 ha, dengan alat parkir otomatis dan tidak ada orang yang menunggu. Dari mulai pengambilan karcis, pengamanan pada mobil yang diparkir sampai pembayaran dilakukan melalui mesin.

Berbagai pernak-pernik kerajinan tangan khas Jepang, lengkap dari yang paling murah sampai yang paling mahal ada disini, gantungan berbagai corak dan model ada yang sekitar 300 yen sampai dengan 2000 yen, sedangkan harga sebuah boneka yang berpakaian khas jepang sangat bervariasi, ada yang 1000 yen ada juga yang lebih mahal.

Asakusa ternyata tempat wisata asing yang cukup banyuk dikunjungi wisatawan. Obyek yang menarik adalah sebuah kawasan kuil Shinto yang nampaknya berumur sudah ratusan tahun.
Di daerah ini sempat melihat atlit sumo yang sedang berjalan dengan mengenakan piama khas jepang Tidak juga terbayang bahwa atlit sumo di Jepang adalah bak seorang selebritis yang banyak mempunyai penggemar sehngga dimanapun mereka berada selalu dikerubuti oleh muda-mudi penggemarnya.

Patung yang terkenal pada kuil itu adalah Sensoji Temple yang konon dibangun sejak tahun 1651.

UENO PARK

Di Tokyo yang padat, dengan perumahan dengan populasi yang lebih tinggi di bandingkan Jakarta, ternyata banyak mempunyai taman yang cukup luas, salah satunya adalah Taman Ueno Park


Ueno Park is a large public park just next to Ueno Station. It was opened to the public in 1873, and offers its visitors a large variety of attractions.
At the park's south entrance stands a statue of Saigo Takamori, an important personality of the late Edo and early Meiji Period. He played a central role in realizing the Meiji Restoration of 1868.
Ueno Park is famous for its many museums, especially art museums, namely the Tokyo National Museum, the Orient Museum, the National Science Museum, the Shitamachi Museum, the National Museum for Western Art and the Tokyo Metropolitan Fine Art Gallery.
Since 1882, Ueno Park is home to Japan's first zoological garden. Its main attraction are giant panda bears. The first panda bears where a gift from China on the occasion of normalization of diplomatic relations in 1972.
Shinobazu Pond is a large pond in Ueno Park. A temple for the goddess of Benten stands on the island in the middle of the pond.
Toshogu Shrine is a shrine dedicated to Tokugawa Ieyasu, the founder of the Edo shogunate, which ruled Japan from 1603 to 1867. It is well worth paying the 200 Yen admission fee in order to enter the inner shrine area and main building.
Last but not least, Ueno Park is famous for its more than 1000 cherry trees. During the cherry blossom season, Ueno Park becomes one of the country's most popular and crowded spots for hanami (cherry blossom viewing) parties.

HAKONE

Hakone is part of the Fuji-Hakone-Izu National Park, less than 100 kilometers from Tokyo. Famous for hot springs, outdoor activities, natural beauty and the view of nearby Mt. Fuji, Hakone is one of the most popular destinations among Japanese and international tourists looking for a break from Tokyo.

Lake Ashi (Japanese: Ashinoko) was formed in the caldera of Mount Hakone after the volcano's last eruption 3000 years ago. Today, the lake with Mount Fuji in the background is the symbol of Hakone.
The best views of the lake in combination with Mount Fuji can be enjoyed from Moto-Hakone, from the Hakone Detached Palace Garden and from the sightseeing boats cruising the lake.
Note however, that clouds and poor visibility often block the view of Mount Fuji, and you have to consider yourself lucky if you get a clear view of the mountain. Visibility tends to be better during the colder seasons of the year than in summer, and in the early morning and late evening hours.
Two companies, Hakone Sightseeing Boats and Izuhakone Sightseeing Boats, operate boats between Moto-Hakone and Hakonemachi at the lake's southern shores and Togendai and Kojiri at the northern shores.
A boat cruise from one end of the lake to the other takes roughly 30 minutes and costs 970 Yen. The Hakone Free Pass is valid on the pirate ship shaped Hakone Sightseeing Boats but not on boats operated by Izuhakone.
KAMAKUIRA

Kamakura is a coastal town in Kanagawa prefecture, less than one hour south of Tokyo.
Kamakura became the political center of Japan, when Minamoto Yoritomo chose the city as the seat of his new military government in 1192. The Kamakura government continued to rule Japan for over a century, first under the Minamoto shogun and then under the Hojo regents.
After the decline of the Kamakura government in the 14th century and the establishment of its successor, the Muromachi or Ashikaga government in Kyoto, Kamakura remained the political center of Eastern Japan for some time before losing its position to other cities.
Today, Kamakura is a very popular tourist destination. Sometimes called the Kyoto of Eastern Japan, Kamakura offers numerous temples, shrines and other historical monuments. In addition, Kamakura's sand beaches attract large crowds during the summer months.
SHIBUYA

Shibuya is one of the twenty-three city wards of Tokyo, but often refers to just the popular shopping and entertainment area around Shibuya Station.
Shibuya is one of Tokyo's most colorful and busy districts and birthplace to many of Japan's fashion and entertainment trends. Most of the area's large department and fashion stores belong to either Tokyu or Seibu, two competing corporations.
A prominent landmark of Shibuya is the large intersection in front of the station (Hachiko Exit), which is heavily decorated by neon advertisements and giant video screens and gets crossed by amazingly large crowds of pedestrians each time the traffic light turns green.
YEBISHU PARK

Yebisu Garden Place is one of Tokyo's most pleasant cities within the city. Consisting of roughly a dozen buildings and skyscrapers, it features a large array of restaurants and shops including a Mitsukoshi department store, the Westin Tokyo hotel, offices, residential space and two museums.

Central Square
Chateau Restaurant Taillvent-Robuchon
Yebisu Garden Place is built on the former site of a beer brewery, where the still existing Yebisu Beer brand had been brewed since 1890. Interestingly, it was the beer brand which gave the later developing town and railway station of Ebisu* its name, and not the other way around.
The Beer Museum Yebisu (entrance free) commemorates the original brewery, displays exhibits about the history and science of beer brewing in Japan and the world and offers beer tasting. After a visit to the beer museum, you may want to consider a meal and drink at the beer restaurant "Beer Station".

Beer Museum Yebisu
* "Ebisu" is the modern way to write "Yebisu", as the syllable "ye" and corresponding kana characters have almost completely disappeared from the modern Japanese language and been replaced by the "e".
ODAIBA


Rainbow Bridge from Odaiba
Introduction:
Daiba, literally meaning "fort", refers to some of the man made islands in the Bay of Tokyo, which were constructed in the end of the Edo Period (1603-1868) for the city's protection against attacks from the sea.
During the extravagant 1980s, a spectacular redevelopment of the islands into a futuristic business district was started, but development was critically slowed down after the burst of the "bubble economy" in the early 1990s.
It was not until the second half of the 1990s, that Odaiba developed into one of Tokyo's most interesting tourist spots and the highly popular shopping and entertainment district, which it is today. Further development of the area is still underway.

Attractions:
Among the attractions of Odaiba are several shopping and entertainment centers, theme parks, museums and the futuristic architecture and city planning. Even access to Odaiba can be considered an attraction (see "How to get there").
AQUA LINE

Unique Bridge-and-Tunnel Expressway Across the Bay

Trans-Tokyo Bay Motorway named the Tokyo Bay Aqualine, a toll highway that spans the narrowest gap of Tokyo Bay, opened to traffic in December 1997 after 31 years of studies and construction at the total cost of 1.44 trillion yen (11,077 million dollars; $1=\130). The 15-kilometer (9.3-mile) expressway, connecting Kisarazu City of Chiba Prefecture and Kawasaki City of Kanagawa Prefecture, makes it possible to take a round of the bay by car. Of the total length, 4.4 kilometers (2.7 miles) from the Kisarazu side is a bridge and 9.5 kilometers (5.9 miles) from the Kawasaki side is an undersea tunnel, which is the world's longest undersea tunnel, running 60 meters (197 feet) deep under the surface of the water.
Before the completion of the Aqualine, transportation between Kisarazu City and Kawasaki City required driving 100 kilometers (62.1 miles) along the coastline of Tokyo Bay or taking a one-hour ferry. Now the Aqualine connects the two cities in about 15 minutes, and its opening will drastically change the flows of goods and people, including tourists, in the Metropolitan area.

Created on the artificial island that connects the bridge and tunnel portions, Umi-hotaru is a parking and rest area which was designed as a tourist attraction jutting out from the waters of Tokyo Bay.


Photos: (From top) the expressway on the Kisarazu side (Japan Highway Public Corporation); Bridge girders on the Kisarazu side (Chiba Prefecture); Umi-hotaru (Japan Highway Public Corporation).

CERITA REMAJA

KETIKA DIRI INI INGIN KEMBALI

Oleh : Gunarso

Sudah berulangkali ia coba tegarkan jiwanya, sebagaimana selalu ditanamkan ayahnya apabila sedang menghadapi sesuatu masalah agar tidak menghambat urusan yang lainnya. Namun Riska kali ini tidak bisa menghalau kesedihan yang telah menimpanya. Riska seakan-akan sudah tidak bisa berbuat apa-apa kini.

Kamar yang dijadikan tempat berteduh selama beberapa minggu ini, kini justru memberikan kepedihan di hatinya. Sinar redup yang dipancarkan dari lampu di kamar itu, kini nampak sebagai sorot mata yang dengan sinis dan angkuh menatapnya. Menjadikan ia semakin tidak nyaman tinggal di kamar ini.

Ibu kost, demikian Riska dan beberapa temannya menyebut Bu Minah sebagai pemilik rumah itu, memang belum pernah membicarakan posisi dan pekerjaan apapun tentang keberadaannya disini, apalagi menyuruhnya pergi dari tempat itu. Tetapi ia sudah sangat tidak betah dengan tempat ini. Pagi tadi secara tidak sengaja ia melihat Bu Minah menemui seorang laki-laki setengah baya yang berpenampilan rapi. Pembicaraannya terhenti ketika menyadari ada Riska disitu. Riska memang tidak mengetahui dengan pasti apa yang dibicarakan. Tetapi firasatnya sangat kuat, bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

Diraihnya foto berbingkai di salah satu sudut ruangannya dengan hati-hati. Ditatapnya senyum yang terlukis di dalam wajah foto itu, orang yang sangat dicintainya. Foto ayahnya itu sudah sedikit berdebu, dengan pelahan diusapnya permukaan foto itu dengan tangannya, seolah tidak merelakan wajah orang yang disayanginya itu kotor. Senyum itu memang sering membuatnya damai apabila sedang sedih. Tetapi kali ini justru semakin menyayat hati, air matanya tidak terbendung lagi mengalir lewat sudut mata lentiknya.

“Pa…. Riska mohon ampun …..” bisik Riska dengan gemetar seiring dengan duka yang menghimpitnya. Sambil memeluk dengan erat foto papanya.

Dengan foto dalam pelukannya cukuplah bagi Riska untuk mengurangi beban yang menghimpitnya. Walaupun tidak mengurangi deras air matanya.

Sekilas demi sekilas, terbayang peristiwa beberapa waktu lalu. Ketika itu, saat ia meninggalkan rumah, Riska seakan mempunyai bayangan yang sangat jelas membentang dan siap menyambut kedatangannya dengan penuh kehangatan. Harapan yang ditanamkan oleh Henky dan karena itu ia dambakan bersama Henky seolah membutakan akal sehatnya. Segala perkataan dan bujuk rayu Henky seakan merasuk ke dalam jiwanya yang paling dalam. Sehingga Riska merasakan tidak ada lagi orang yang lebih hebat dari dia untuk baginya bersandar dalam dirinya.

Sebagai kakak kelas Henky memang terlihat selalu mempunyai wawasan yang lebih luas darinya yang masih berstatus siswa baru. Dimulai dari waktu pekan orientasi di SMU, Henky yang merupakan salah satu panitia selalu menjadi pelindung dari hukuman dari kakak-kakak seniornya apabila ia melakukan kesalahan. Dari situlah kemudian Riska semakin dekat dengan Henky. Dialah yang selalu menuntun dan menunjukkan tempat-tempat yang baginya masih baru. Sampai akhirnya ia bersimpati kepadanya. Apalagi penampilannya yang jauh dari rapi dan terkesan seadanya itu membuat Riska menemukan suasana yang berbeda dengan apa yang selalu diberlakukan di rumah dengan disiplin ketat dari mamanya. Berteman dengan Henky, Riska memperoleh banyak nuansa baru dan sifat Henky yang cuek bebek itu memperbolehkan Riska untuk berbuat melakukan apa saja. “Ikuti saja hati nuranimu dan jangan pikirkan orang lain, dan kamu pasti akan menemukan kebahagiaan yang sesuai dengan jati dirimu”. Demikian berkali-kali yang diucapkan Henky kepadanya.

Adalah Riska yang seakan baru lepas dari kungkungan rumah dengan aturan yang ketat, seakan-akan menemukan sayap untuk terbang kemanapun yang ia inginkan. Seakan-akan tidak ada lagi orang lain yang dapat membahagiakan dirinya selain Henky. Adalah Henky yang tidak pernah menyudutkan Riska dengan menanyakan berapa nilai mathematika yang jelas-jelas sangat tidak disukainya. Atau dengan membandingkan angka raport dirinya dengan nilai adiknya yang selalu mendapatkan ranking. Sementara papanya yang penyabar selalu pulang malam sesuai dengan meningkatnya prestasi di kantornya, menjadikan ia jarang berkomunikasi dengan papa. Riska masih menganggap bahwa papa pasti bisa menerima keadaan dirinya termasuk apa yang tengah berada dihatinya saat itu. Dan biasanya papa mempunyai jalan keluar yang bijak untuk dijadikan panutan.

Berada di rumah lantas menjadi siksaan bagi Riska, ia selalu mengurung dalam kamarnya, agar terhindar dari kata-kata mama yang sering ia anggap menyudutkannya. Dan mengharapkan segera lekas pagi dan berada di sekolah lagi dan dapat lagi bertemu dengan Henky lagi. Bahkan Riska berani membohongi mamanya bahwa ia pulang sore karena ada les.

Itu adalah salah satu peristiwa yang sebenarnya sudah lama dilupakan Riska. Namun dalam kedukaannya kali ini mendadak muncul dan dikenang oleh Riska dan dianggap sebagai awal kehancuran masa depannya.

Riska menghela nafas panjang. Sosok Henky memang pernah menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya. Dan kini Riska sudah bisa mengendalikan diri dengan tenang sesuai dengan meningkatnya kedewasaannya. “Ia memang pernah merasuk dalam sumsumku. Tidak sekarang". Kini semua itu sudah menjadi salah satu sisi gelapnya.

Kedekatannya dengan Henky sempat membuat konsentrasi belajarnya menurun. Dan tentu saja menjadikan orang tuanya kecewa dengan nilai-nilanya yang semakin menurun. Setiap kata-kata yang ia dengar di rumah menjadi sesuatu yang ditakuti Riska. Kata-kata mamanya nampaknya semakin menyakitkan saja. Riska sendiri masih berusaha untuk lebih tekun lagi berkonsentrasi dalam belajar. Tetapi manakala ia membuka buku pejalaran yang muncul adalah wajah Henky yang diikuti dengan lamunan dan rencana yang akan ia lakukan bersamanya esok hari.

Henky memang tidak pernah menanyakan berapa nilai ulangan dan mata pelajaran yang diajarkan. Henky hanya selalu berkomentar dengan enteng manakalan Riska menunjukkan nilai jelek dalam ulangan : “...itu tampaknya memang bukan bidang yang sesuai dengan bakatmu”.

Kedekatannya sudah sampai pada taraf yang tidak bisa dipisahkan lagi. Sehingga Riska selalu ingin selalu di dekatnya. Baik pagi, siang, malam dan setiap saat, yang ia pikirkan hanyalah Henky seorang. Sementara ia sendiri sadar bahwa apabila ia jauh darinya maka ia tidak bisa konsentrasi dalam hal apa saja, apalagi untuk belajar.

Sudah dari semula orang tua Riska tidak menyenangi hubungan itu, karena kedekatannya bukan untuk tujuan sekolah atau organisasi. Apalagi dengan melihat penampilan anakmuda itu yang terkesan kurang sopan dalam berpakaian.

Suatu ketika orang tua Riska bagai terkena petir mendengar permohonan Riska untuk menerima Henky apabila melamar untuk menikahinya. Orang tua Riska tidak menyangka bahwa Riska sudah demikian jauh berhubungan dengan Henky. Riska yang dihadapannya masih kelihatan gadis lugu yang baru keluar dari rangkulan tanganya.

Kini, di dalam kamar yang sempit ini. Riska merasakan bahwa keputusannya itu adalah suatu kebodohan terbesar dalam hidupnya. Bagi orang tua Riska sebenarnya bukan karena Henky yang berpenampilan seadanya itu yang tidak mengijinkan permohonan anaknya. Tetapi ia ingin memenuhi tugasnya sebagai orang tua dalam hal pendidikan yaitu menyelesaikan kuliahnya dulu. Apalagi mamanya yang dengan ambisius ikut menggenjot pelajaran Riska hingga bisa berguna bagi masa depannya.

Barangkali inilah saat yang tidak pernah dilupakan Riska, dan barangkali juga orang tuanya. Riska yang sudah diliputi cinta pertamanya itu justru menjadi berang dan marah-marah.

“Sampai kapan mama akan terus mendikte kehendak, menghalangi keinginan dan menyumbat nurani Riska ?”. Katanya waktu itu dengan suara keras yang jarang keluar dari mulutnya, kecuali apabila sedang merengek atau tertawa ketika digoda papanya.

Adalah Riska, yang belum mengenal benar kehidupan yang sesungguhnya. Adalah Riska yang sudah diliputi cinta buta dan tidak mampu melihat hidup dengan nyata. Ia masih sayang orang tuanya, ia masih menyukai kenangan masa lalunya. Ia tetap menghargai jasa orang tuanya yang telah mendidik dan merawatnya dan hal-hal lainnya. Tetapi ia sudah sangat yakin dengan masa depannya bersama Henky. Bayangan indah itu seakan terbentang dengan nyata. Memaklumkan keputusannya untuk memilih. Apalagi papa pada waktu itu dengan geram memberikan ultimatum padanya, entah disengaja atau terlepas ucapan “Mau ikut papa atau ikut pacarmu itu”. Riska sendiri merasa bahwa papa yang selama itu lembut dan menyayanginya bisa mengatakan ucapan yang begitu keras, dianggapnya suatu tantangan bagi dirinya untuk menunjukkan jati dirinya. Dengan berat hati ia akhirnya memutuskan suatu pilihan, walaupun dengan hati perih.

Dengan langkah tegar, walaupun dengan hati hancur, ia menjinjing tas dan menggendong ransel berisi pakaian dan keperluan seadanya, dengan satu bayangan yang semakin jelas, seakan sesuatu telah membuka tangan siap menyambutnya. Dengan keyakinan yang mantap. Tidak lupa foto papa yang selalu mengajarkan kemandirian padanya, agar dalam hidup tidak boleh terlalu pasrah menggantungkan nasib pada keadaan saja. “Hidup adalah selalu bekerja untuk menjadikannya menjadi lebih baik. Berusahalah untuk selalu menjadi yang lebih baik”. Kalimat itulah yang selalu terngiang dalam dirinya manakala ia sedang sedih.

Riska waktu itu benar-benar merasa sudah bisa mandiri dan bisa memutuskan pilihan hidupnya, usianya sudah tujuh belas tahun. Bersama Henky ia bertekad membangun kehidupan baru yang kelihatan berkilauan sinarnya. Walaupun tanpa seijin kedua orang tuanya akhirnya ia putuskan juga pilihannya dengan bulat.

Akhirnya Riska, sambil terus mendekap foto papanya, tahu bahwa tindakannya itu hanya menuruti nafsu mudanya saja yang sangat mentah. Suara keras papa yang mengultimatumnya itu, Riska yakin bahwa sebenarnya tidak berarti papa sudah tidak sayang lagi padanya.

Hidup memang lebih dari sekedar menikmati kehidupan saja. Dibalik itu dibutuhkan suatu energi yang luar biasa agar pada akhirnya dapat menjadikan kepuasan bathin baginya.

Riska akhirnya memilih kost atas biaya Henky, sambil menunggu Henky berhasil dari usaha berdagang yang dilakukan selesai jam kuliah. Tentu hal ini di luar pengetahuan orang tua Henky. Henky berjanji segera menikahinya apabila usahanya berhasil.

Hidup ternyata tidak mudah, Henky tidak kunjung sukses dalam usahanya berdagang. Uang saku Henky dari orang tuanya lama kelamaan tidak cukup untuk membiayai dirinya. Sedang usahanya tidak kunjung berhasil membuat Henky semakin frustasi dan malu pada Riska dan dirinya sendiri.

Tinggallah kini Riska dengan kesendiriannya, beberapa lamanya Henky sudah tidak pernah mengunjunginya lagi, apalagi memberikan biaya bagi kehidupannya.

Sedikit demi sedikit tabungan Riska yang dibawanya nyaris habis terpakai, sampai akhirnya datanglah seseorang yang membawanya pada bu Minah yang memberikan harapan baru baginya. Sebenarnya keputusan untuk bergabung dengan bu Minah, adalah keputusan yang sangat sulit juga bagi Riska. Hal yang paling membuatnya bingung adalah bahwa ia tidak tahu pekerjaan apa yang akan dilakukan di tempat bu Minah, di samping itu ia memang baru pertama kali ini ikut dengan keluarga lain selain dengan orang tuanya. Tetapi untuk tetap tinggal disitu ia sudah tidak mampu lagi untuk membayar uang kost dan untuk makan sehari-hari. Yang dia tahu bahwa bu Minah mempunyai salon kecantikan.

Untuk pulang ke rumah ia takut dengan omelan mamanya, yang pasti akan sangat marah dengan kepergiannya secara diam-diam itu dan perasaan malu mengakui kesalahan dalam melakukan pilihan waktu meninggalkan rumah masih mengendap di dalam kalbunya. Terutama pada papanya yang entah disengaja atau tidak memberikan ultimatum kepadanya untuk ikut papa atau Henky.

Akhirnya ia memang harus memutuskan salah satu pilihan. Tawaran bu Minah nampaknya adalah yang terbaik baginya.

Oleh bu Minah, Riska dilatih keterampilan memotong rambut dan perawatan kecantikan lainnya untuk membantu bu Minah kelak di salonnya. Riska juga sudah mahir merias untuk kepentingan sendiri. Bahkan sudah mampu membantu bu Minah dalam merias dirinya, sakli-kali teman bu Minah pernah juga diriasnya. Riska bahagia dengan keterampilannya itu.

Namun diam-diam Riska bertanya, mengapa ia tidak pernah diajak ke tempat salon kecantikannya itu. Bu Minah selalu mengelak apabila Riska ingin ikut bu Minah ke tempat kerjanya. Alasannya macam-macam.

Sampai suatu ketika Riska benar-benar tidak menyangka bahwa, ternyata tinggal bersama bu Minah adalah hal yang dapat mendorong Riska kejurang yang lebih pahit. Riska sadari itu. Ia mulai curiga dengan tingkah laku bu Minah yang selalu berdandan sangat menor itu. Apalagi seringnya ia membawa tamu bermacam laki-laki ke rumahnya sampai larut malam. Instink Riska tidak menerima itu. Bu Minah yang dikiranya baik hati, menyimpan niat yang paling ditakuti Riska, yaitu pelan-pelan akan menceburkan Riskake dunia hitam.

“ Aku harus keluar dari rumah ini. Segera !” begitu tekadnya dalam hati.

Diambil ransel dan tas bepergian Riska yang dibawa Riska sejak meninggalkan rumah. Dengan hati hancur ia masukkan satu demi satu pakaian ke dalam tas dan ranselnya. Air matanya semakin deras ketika terakhir akan memasukkan foto ayahnya itu. Sekali lagi didekapnya foto itu sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam tasnya.

“Pa ... ma, ..... maafkan Riska pa ..... , Riska mau pulang ma ...” Bersamaan dengan itu pecahlah tangis Riska, disertai derai air matanya. Larutlah gumpalan duka yang menghimpit dadanya. Hilanglah segala macam perih yang menyayat hatinya. Untuk beberapa lama, tubuhnya terguncang-guncang menahan gejolak tangisnya.

Dengan berat Riska pelan-pelan mulai bisa mengendalikan perasaannya, berusaha tegar, begitulah nasehat ayah Riska yang selalu terngiang dalam telinganya. Riska siap menerima kemarahan mama dan papanya. Riska bertekad untuk keluar dari rumah ini dan pulang ke rumah adalah tujuannya. Bagaimanapun rumah adalah tempat yang terbaik bagi dirinya. Riska tahu itu. Dengan pikiran tenang dan lebih dewasa.

Dengan air mata yang masih sembab ia sekilas melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 01.30.

“Oh ...... sudah sangat larut” pikirnya “mudah-mudahan penghuni rumah ini sudah tertidur dan tidak mengetahui kepergiannya”

Dengan mengendap-endap ia buka pintu kamarnya, dan segera keluar dengan cepat dari rumah bu Minah.

Riska berteriak ketika melintas apa yang ditunggunya “ Taksi !, .... pulang ke rumah pak”

Untuk beberapa saat pengemudi taksi belum menjalankan mobilnya walaupun Riska sudah duduk manis di jok belakang “Pulang kemana neng ...?” Riska tersentak, bersamaan dengan menyebut alamat rumahnya tergambarlah wajah mama, wajah papa, wajah bibi dan wajah si endut adiknya terbayang semua. Iapun tidak peduli lagi apa reaksi mereka semua.

Di dalam taksi menuju rumahnya, senyum Riska tiba-tiba mengembang, dan itu salah satu petunjuk bahwa dirinya telah dapat menyelesaikan persoalannya. Dan itu mungkin adalah prestasi pertamanya dalam menyelesaikan masalah yang yang menghimpitnya. Kemenangan Riska adalah keberhasilan memutuskan masalah yang menimpanya.

****

Bekasi, November 2002