Minggu, 14 November 2010

Letusan Merapi, 26-10-2010

Fisikku memang ada disini

Tetapi pikiranku melayang-layang menyusuri jalan-jalan kecil kumuh di perkampungan Meguro Tokyo
Aku memang masih berada di tengah empat dinding dua setengah meter tinggi,namun tak bisa secara total mengungkungku untuk sampai saat sore nanti tiba.
Aku saat ini tidak sendiri, bersama ribuan makhluk-makhluk sepertiku berbaur saling berkomunikasi dan melebur bagai amuba.
Dalam komunitas inipun sebenarnya tidak juga dapat menyancangku untuk tetap diam tetap disitu

Aku berhak bebas

Aku berhak melakukan petualanganku sesempurna mungkin yang aku inginkan selama tidak bersama ragaku yang ada di sudut ruang pengap itu

Aku memang membalas sapaan, menoleh menghadapkan mukaku kepada seseorang yang mengajak bicara denganku. Tetapi pada hakikatnya aku tengah menikmati pengembaraan yang sesuai dengan keinginganku yang tanpa biaya ini

Kuil-kuil budha di sepanjang tembok china itu, layaknya masih berbicara saja memamerkan setiap ujung dari setiap bentuk indahmu, masih saja berbicara padaku dengan ramah

Vulcano di Iceland begitu menyentak kesadaranku untuk tidak melakukan hal-hal yang membosankan.

Disini, dikomunitas mayaku, aku dapat berubah ujud menyelaraskan kondisi tempat ku berada, kulitku ini bisa berubah seperti bunglon atau bisa tidak terbentuk seperti apapun

Angin darat melayangkanku kearah laut dengan perlahan
Mulanya seakan ragu apakah ku mau memulai perjalanan ini bersama sejauh angin berhembus
Air laut yang begitu luas tak terhingga seakan hendak menelanku dengan lidah-lidahnya yang berloncatan menggapai-gapai tubuh abstrakku, menawarkan wisata lelehan lava di gunung bawah laut Hawai.
Semakin jauh menuju laut biru

Ada semacam keraguanku ketika kutemui malam
Dalam gelap apakah diri ini bisa menembus pekat yang kau selimutkan
Sementara tubuh tak berujudku melanglang mengarungi memenuhi mimpiku
Gelap adalah hal yang tidak kurasakan dan kutangkap dalam indraku

Keadaan fisikku melagukan tembang
Sementara jiwa abstrakku terus menerobos dalam diam namun kumengerti ketika alam berbicara
Dalam gelap ini justru semuanya sangat nyaring membisikkan niat tulusmu, membimbingku ke dalam lobang kedamaian yang kurindukan, ketenangan yang kutelungkupi membawaku hari-hari ini semakin abadi

Kegundahanku padamu,
Merapi
‘Kenapa’ kuharus tahu dirimu yang semakin hari semakin membuatku mengernyitkan alisku walaupun tidak kukatakan sepatah katapun keluar dari mulutku tanpa ucapan dengan makna ‘kenapa’
Adakah ini hanya sekedar menuruti hukum keseimbangan alam belaka
Adakah ini juga sebuah petaka yang sebagian besar tidak kuiningini
Aku masih ingin tahu semua isi di dalam dirimu dalam perutmu, magma dibawah lapisan-lapisan tanah yang berasal darimu jua.
Adakah juga mengerti penderitaannya.
Adakah juga masih ingin mengubur petilasan budaya abad ini seperti seribu tahunan yang lalu

Aku masih ingin bertanya, bolehkah aku turut bersedih dan memohon untuk menghentikan semua ini



Jakarta, 26 Oktober 2010