Oleh : Gunarso
Tubuhku enteng seringan kapas melayang terbawa angin yang gersang berputar-putar tanpa arah tujuan yang jelas. Ketiadaan bobot tubuhku memungkinkan aku terbang bergulung-gulung bersama debu entah mengikuti apa dan kemana akan berhenti.Aku seakan tidak ada pilihan untuk menghentikan semuanya ini. Andaipun aku punya pilihan aku justru tidak menginginkan untuk menyudahi petualanganku yang sangat aneh ini.
Dalam keadaan tanpa bobot ini sebenarnya ada hakku untuk bertanya mengapa, tetapi sekali lagi aku tidak menginginkan jawaban itu, aku hanya ingin merasakan saja apa yang sedang dan akan terjadi selanjutnya. Bahkan ketika aku bergerak semakin tinggi semakin tipis udara yang kuambil sebagai nafasku, semakin mengecil saja benda-benda yang menempel di bumi ini sebagaimana kulihat.
Matahari yang semakin tinggi memancarkan sinarnya langsung menghunjam hutan pinus dan tanah lapang disebelahnya, warna rumput dan daun pinus nampak semakin memudar agak kecoklatan beriringan dengan tingginya matahari. Binatangpun makin menyembunyikan dirinya dari sengatannya dengan berlindung dengan apa saja yang bisa menutupinya. Itu kutahu dari ekor anjing yang masih terlihat tergerai tidak terlipat belum disembunyikan di balik semak-semak sana oleh pemiliknya.
Kutahu juga ekor anjing belang yang bersembunyi itu adalah peliharaan nenek Kapri yang rumahnya tidak jauh dari tanah lapang di dekat hutan pinus itu.
Nenek itu tidak sendirian. Sehari-hari ia ditemani anjingnya yang dengan setia menghantarkan tidur siangnya. Dan kutahu juga kalau anjingnya keluar dari rumah sang nenek, pasti nenek itu sedang tidur dan tidak membutuhkannya lagi.
Dua orang anak Nenek Kapri sudah beberapa waktu meninggalkannya untuk mencari kehidupan yang lebih layak menurutnya. Si Sulung sudah tiga tahun sejak menikah tidak pernah pulang, hanya kiriman uang saja yang masih rutin dikirimkannya besamaan dengan surat yang biasanya berisi sama yaitu menyatakan bahwa dirinya sehat dan berharap ibu juga demikian.
Meskipun surat tersebut berulang-ulang mengandung pesan yang sama tetapi nenek Kapri tidak bosan-bosan membaca surat dari si sulung, bahkan kemudian menyimpannya setelah ada surat yang berikutnya.Adiknya satu tahun ini pergi meninggalkannya ke luar kota yang berlainan dengan si Sulung, dengan alasan yang sama dengan kakaknya yaitu mencari penghidupan yang lebih baik.
Penghasilan merawat sedikit sawahnya tidak lagi mencukupi gaya hidupnya untuk mengikuti gaya hidup teman-temannya yang bergelimang dengan asesoris modern seperti handphone, mp3 dan entah apa lagi yang dia tidak tahu apa itu dan memang dia tidak mau bertanya karena sudah pasti dirinya tidak bakal punya alat-alat itu. Si Nenek tidak tahu pekerjaan keduannya, tetap anak terkecilnya belum bisa memberikan kiriman uang sebagimana yang dijanjikannya ketika meninggalkannya.
Tidak apa-apa pikir nenek, tentunya ia sedang mencari pencaharian yang layak.Cerita itu aku dapat dari nenek waktu aku bertemu nenek Kapri beberapa waktu lalu sebelum udara menerbangkanku.
Yah! Aku hanya berkomentar dan memberi semangat kepada nenek agar lebih tenang dan sabar dalam menjalani kehidupannya dan tidak lupa mendoakan keselamatan anak-anaknya.Nenek hanya tersenyum dan dengan nada lirih pelan tetapi sangat jelas terdengar mengatakan bahwa dirinya tidak kurang lagi meminta kepada Allah SWT akan keselamatan kedua anak-anaknya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.
Sebagai warga biasa tentu saja menurut hukum bukanlah menjadi kewajibanku untuk mempedulikan nenek ini sebagai salah satu warga yang barangkali memerlukan perhatian. Tetapi kunjunganku kepada Nenek ini semata-mata karena rasa kasihan saja pada salah satu insan tua yang harus harus tinggal sendirian ditinggal kedua orang anaknya. Hal ini sering terjadi pada orang tua ketika anak-anaknya sudah dewasa dan mempunyai penghidupannya sendiri.
Kini ia tinggal bersama anjing kesayangannya, ia ceriterakan semuanya kepada anjing itu ketika ia ingin mengatakan sesuatu. Segala sesuatu bisa menjadi obyek pembicaraan dengan anjing kesayangannya itu. Dari mulai masa kanak-kanaknya yang penuh kenangan membahagiakan beserta kenangan-kenangan nakalnya yang tidak pernah dilupakannya. Anjingnya selalu berada didekatnya manakala dengan sayang membelai-belai dagunya. Entah tahu entah tidak apa yang dibicarakan nenek itu. Nenek menganggap tidak usah anjing itu tahu apa yang dibicarakan, cukup dengan mendampingi dan mendengarkan ceriteranya saja ia sudah cukup terhibur. Nenek menganggap bahwa anjingnya mengerti makna pembicaraannya untuk membunuh sepinya. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku anjing yang selalu berada didekatnya. Baik diwaktu nenek memberikan makanan maupun tidak.
Semakin tinggi tubuhku melayang-layang di langit, hampir mendekati awan. Angin yang seharusnya mengumpulkan awan menjadi bintik embun yang kelak menjadi hujan tidak kurasakan kesejukannya.
Terlalu lemah untuk menggoyangkan pucuk-pucuk pinus.
Posisi tubuhku kadang-kadang telentang menatap langit yang biru menyilaukan, hampir tak nampak karena silaunya sinar matahari hingga membuat retina mataku mengecil, hanya semburat saja yang sempat kutangkap, saat itulah aku segera memalingkan wajahku kearah yang lain. Disitu aku menemukan pemandangan yang lebih bisa kugambarkan. Langit warna biru, awan putih bergulung-gulung.
Sudah lama keadaan langit ini tidak berubah, hanya lukisan awan-awannya yang selalu berubah ujud. Kadang-kadang membentuk salah satu benda di bumi seperti payung, kuali, pisang dan lain-lain, kadang-kadang membentuk lukisan abstrak yang tidak seorangpun tahu sedang menggambarkan apa.
Waktu kecil aku bisa berjam-jam memandangi perubahan bentuk awan-awan ini sambil bertengger di atas pohon mangga di rumah satu kampung dengan Nenek Kapri.
Pada beberapa cabang aku sengaja siapkan membentuk tempat duduk yang bisa melihat langsung kearah langit. Dengan disertai angin sepoi-sepoi tidak jarang aku tertidur diantara ranting-ranting yang kubuat sedemikian rupa sehingga cukup aman dan kuat.
Pada saat itu aku pernah mempunyai keinginan untuk melayang bersama awan, mengelus, menjadikannya sebagai bantal atau kasur atau apalah yang barangkali bisa melingkupiku, membungkusku bak janin yang masih dalam lindungan plasenta sang ibu. Nampaknya seperti daratan yang penuh misteri.
Pantaslah kalau sering digambarkan pada cerita-cerita fiksi negeri kayangan berada di atas awan seperti itu. Nampaknya lebih lembut dari kapas atau bahkan salju yang ada di puncak Jayawijawa atau di Hakone – Tokyo atau dinegeri lainnya yang mengenal musim dingin secara ekstrim.
Kesempatanku merasakan semua itu hampir tiba. Aku hampir mendekati awan.
Udara sejuk karena semakin menjauh dari bumi yang memantulkan begitu saja panasnya matahari kearah yang berlawanan sama dengan sudut datang..
Udara dengan kandungan oksigen yang tipis seharusnya membuatku sulit untuk bernafas.
Dari atas sini, aku baru bisa melihat alam secara lebih jelas dan bijak.
Betapa alam ini diciptakan dengan segala keseimbangan dan segala aturan-aturan yang mapan. Alam sendiri hidup saling memberi dan menyediakan.
Yang tinggi terus tergerus bersama datangnya hujan, agak sedikit tertahan oleh pohon-pohon, selanjutnya meluncur ke kali membawa kikisan bukit sedikit demi sedikit, mili meter kubik demi milimeter kubik yang berbentuk lumpur, untuk kemudian di alirkan ketempat yang lebih rendah, ada sebagian yang diendapkan di rawa-rawa sebagian lagi di sawah dan tempat-tempat lain yang lebih rendah.
Filosifnya adalah: yang lebih tinggi secara alamiah akan menutup tempat yang lebih rendah. Demikian pula dengan kondisi keuangan di sebuah negara, orang yang kaya, baik disengaja maupun tidak akan mengalirkan dananya kepada pihak-pihak yang memang membutuhkan dana itu.
Saling mencari keseimbangan.
Namun aku agak kecewa melihat daerah pegunungan sawah dan hutan pinus dari atas sini, tidak sehijau yang aku sering bayangkan dan kubandingkan dengan gambar-gambar pegunungan yang selalu berwarna hijau atau hijau kebiru-biruan.
Ada warna kecoklatan yang semakin mendesak perbukitan hijau ini dari berbagai arah. Dari timur hutan pinus dekat rumah Nenek Kapri yang mulai tidak tahan dengan desakan warna coklat mulai menyelinap lebih dahulu merangas semak-semak yang berada di bawahnya.Ya, memang dalam kondisi ini biasanya hujan segera turun agar keseimbangan alam tetap terjaga. Agar semburat coklat tidak masuk ke wilayah yang lebih jauh.
Dengan kesadaran penuh aku merasa tubuhku makin tinggi, mulai menembus awan tipis, penglihatanku pada bumi kadang-kadang kabur manakala terlintas awan tipis menerjang. Gubug Nenek Kapri semakin tidak terlihat.
Kali yang mengular dari arah pegunungan mengalir berliku sangat panjang untuk mencapai laut. Lautlah yang menurutku terlihat memancarkan kesejukan dengan warna birunya.
Disitulah terlihat kedamaian , disitulah ada ketenangan, gelombang laut yang tinggi sekalipun tidak terlihat dari atas sini. Dan tentunya ini hanya kamuflase. Betapa ganasnya kehidupan di bawah sana, binatang laut saling memangsa, jurang menganga, magma mengalir, gelombang yang siap menghempaskan segalanya tetap tersembunyi dalam birunya warna laut, sebiru warna langit.
Entah sudah seberapa tingginya aku melayang, suara anginpun semakin jarang kudengar. Kesunyian ini tiba-tiba membuatku tersadar dan membuat pikiran jernihku muncul. Dari suasana sepi ini semua ingatanku terlintas sangat jelas. Ya, memang barangkali inilah saatku untuk mengevaluasi diri, baik-buruknya perbuatan-perbuatan yang pernah kulakukan, perbuatan-perbuatan konyol dan bodoh yang pernah kulakukan apabila mungkin kuulangi dengan perbuatan yang sebaliknya, andaikata bisa, untuk menghapus keburukan-keburukan yang tercatat dalam riwayat hidupku. Dan tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi.
Aku membayangkan mungkin aku pernah menyakiti hati istriku dan barangkali anak-anakku ketika aku dengan tidak sadar melakukannya. Tentu bukanlah sebenarnya itu maksudku, aku hanya tidak biasa mengatakan maaf dan penyesalanku secara langsung kepada yang pernah kusakiti, seperti kebanyakan orang di Indonesia, tetapi tindakanku selanjutnya setelah melakukan kesalahan yang kusadari adalah biasanya kutunjukkan dengan perbuatan baikku.
Perbuatan-perbuatan bodohku dengan tidak membuat suatu prestasi pada pekerjaanku memang sebelumnya pernah aku sesalkan.
Betapa aku sebenarnya mampu menciptakan kondisi perusahaan mempunyai penghasilan yang berlipat ganda, tetapi karena kebodohanku berada di pihak yang selalu mencela kebijakan perusahaan maka aku tidak pernah mendapat kesempatan memperbaiki perusahaan itu.
Pada akhirnya mengundurkan dari perusahaan adalah hal terbaik menurutku waktu itu demi harga diriku. Kebodohanku itu tentu tidak akan kulangi untuk masa masa yang akan datang, seandainya kesempapatan itu datang lagi.
Kebodohan melalaikan menjaga kesehatanku sejak dari waktu muda adalah salah satu perbuatan yang ingin sekali kuperbaiki andainya mendapat kesempatan mengulai masa mudaku. Ketidak seimbangan untuk menjaga makanan dan intensitas olah raga menjadikan tinggi kolesterolku dan lemah jantungku.
Kurangnya aku memeriksakan diri secara rutin mengakibatkan tiba-tiba tekanan darahku berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Itu semua harus kutebus dengan segala resikonya. Dimasa tuaku saat ini dimana aku sudah tidak dikejar dengan pekerjaanku seharusnya aku sudah bisa menikmati hidupku yang sesungguhnya. Namun hal ini justru tidak bisa kulakukan, karena aku harus jalan pagi selama satu jam yang membosankan. Kenikmatan makan yang merupakan kegemaranku juga tidak bisa kusalurkan sepenuhnya, karena aku harus mengurangi garam agar darah tinggiku tidak naik, mengurangi gula agar kadar gulaku terkontrol dan diet-diet lainnya yan gsangat mengekangku untuk berbuat sesuatu.Barangkali perbuatan-perbuatan baikku bias membahagiakan istri, membesarkan anak-anak dan memberikan pendidikan sehingga dapat memperoleh penghidupannya sendiri dapat menghapus kejelekanku di masa yang lalu tanpa harus mengulang lagi umurku.
Aku bergerak semakin tinggi, semakin sunyi, semakin sepi. Bulatan bumi yang hampir kusaksikan keindahannya justru kini tersembunyi entah karena apa, namun aku menjadi semakin tidak peduli apakah tertutup awan ataukan dari mataku sendiri yang kututup untuk menikmati keheningan yang abadi…….……………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar