Pertama-tama yang terpikirkan setelah tiba di Pegunungan Dieng adalah mencari tempat berteduk. Hari memang belum terlalu malam, tetapi dengan cuaca berkabut seperti ini tidak bisa berbuat banyak, pandangan tidak bisa lepas sampai jauh, jarak pandang hanya sekitar 3 meter. Apalagi dengan kondisi badan yang baru terasa lelah, maka kami terus berjalan sepanjang perkampungan di jalan raya Dieng.
Kami menjumpai sebuah kantor kepala desa yang lebih mirip dengan rumah biasa, karena didepat rumah tergantung tulisan “Kepala Desa Dieng Kulon”, dan mengetuk pintu barangkali ada orang karena ada salah satu jendela yang terbuka, kesimpulankami tentu ada penghuni atau paling tidak yang menjaga rumah atau kantor itu. Disekeliling bangunan itu terdapat tanaman kol yang sangat subur.
Seorang bapak-bapak keluar membukakan pintu dan menyapa kami dengan ramah, kami segera menyebutkan identitas kami dan tujuan bepergian ke Dieng untuk mengisi liburan dan kami membutuhkan tempat untuk bermalam, kami ijin untuk memasang tenda di halaman kantor kepala desa trsebut. Tidak lupa kami menunjukkan surat jalan yang kami mintakan dari Kelurahan yang menyatakan identitas kami dan tujuan bepergian keluar dari Pekalongan dari lurah Keputran.
Bapak-bapak itu segera menyilahkan kami masuk dengan ramah dan berbincang bincang seperlunya. Bapak-bapak tersebut yang ternyata seorang penjaga kantor itu mempersilahkan kami untuk tidur di dalam kantor tersebut.kantor kepala desa Dieng Kulon masih sangat sederhana, dengan dinding terbuat dari papan, sedangkan lantai masih berupa tanah, Di ujung ada sebuah perabotan berupa meja panjang dan bangku panjang yang nampaknya untuk rapat perangkat desa. Memang masih sangat sederhana. Karena hari itu hari libur maka kantor kelurahan tutup.
Kami meletakkan barang bawaan kami di bagian depan bangunan semacam kantor tesebut, alas lantai yang masih berupak tanah kering kami lapisi dengan tikar dan tenda yang urung kami pasang karena tidak lagi perlu untuk pelindung menahan dingin karena ada di dalam rumah. Kamar mandi atau lebih tepat disebut tempat mandi ada di luar rumah, ada pancuran mata air dan tutup dengan dinding terbuat dari anyaman bambu, air sangat dingin tetapi sangat menyegarkan.
Setelah membersihkan diri kami punya sedikit kesempatan untuk mengenal daerah sekitar, disekitar tempat kami menginap terdapat ladang kol yang luas, nampaknya sudah siap panen. Secara bergurau kami membicarakan pengambilan jagung dijalan sebelum mendake ke Dieng ini. Bahkan mulai memikirkan apabila hal tersebut diulangi dengan tanaman kol yang segar tersebut.
Tanpa disangka-sangka ternyata di belakang kami mengobrol ternyata terlihat Bapak-napak penghuni rumah tersebut : “kalau mau ngambil silahkan saja”. bahkan Bapak-bapak ini menunjukkan tempat lagi yang terdapat tanaman yang lebih segar dan besar-besar, sambil sedikit menyombongkan diri bahwa tanamannya sangat subur. Dengan mengucapkan terima kasih akhirnya, kami mengikuti Bapak tersebut menuju tanaman kol / kubis yang besar-besar. Kami segera memetik satu buah yang paling besar, si Bapak mau memetikkan satu lagi, tetapi kami bilang cukup satu saja. Dan satu saja ternyata tidak habis kami masak untuk campuran mi instan, bekal kami dari rumah.
Malamnya kami membuat api di dalam rumah tersebut untuk menyiapkan makan malam, menunya tetap tidak berubah, nasi, mie instan yang kali ini agak istimewa karena dilengkapi dengan sayuran kol yang segar. Ternyata daging srundeng yang kami bawa dari rumah masih ada. Dan siaplah makan malam yang mewah. Srundeng yang kami bawa nampaknya masih ada gumpalan gumpalan daging, ternyata gumpalan tersebut adalah gumpalan kelapa yang mengeras karena proses pembekuan dari srundeng yang masih berminyak. Kamis semua tertipu dengan keadaan ini. Gumpalan tersebut ternyata bukan daging.
Malam sebenarnya belum terlalu larut, tetapi khusus untuk daerah ini tampak teralu sepi, jam baru menunjukkan pukul 20.00 tetapi kami semua malas keluar rumah, disamping udaranya yang sangat dingin, suasana kegelapan malam sungguh tidak banyak membuat kami menikmati pemandangan, lampu-lampu minyak yang terpajang di setiap rumah tidak cukup untuk menerangi pemandangan Pegunungan Dieng. Apalagi setelah seharian perjalanan fisik kami memang butuh istirahat. Setelah bercanda dan berbincang acara untuk esok harinya kami semua pulas tertidur.
Kira-kira jam 5 pagi, tiba-tiba kami dibangunkan oleh sebuah teriakan, kami segera bangun. Rupanya suara itu datang dari tempat mandi. Momok sedang menjajal tubuhnya dengan guyuran air di pagi hari berteriak karena kedinginan. Kami semuanya jadi geli, dan semakin penasaran dengan dinginnya air pancuran yang untuk mandi tersebut.
Satu-satu kamipu mengikuti untuk mandi pagi, sementara matahari dengan sangat indah mulai menampakkan diri diantara kabut dan bukit-bukit yang mengelilingi dataran dieng tersebut, sangat indah sekali.
Namun di desa itu nampaknya masih belum ada kegiatan karena disamping masih gelap karena kabut juga cuacanya yang sangat dingin. Hanya satu dua orang saja yang terlihat berlalu lalang, itupun dengan pakaian tebal dengan berselimut sarung.
Setelah kabut agak berkurang, dan cuaca agak terang kami baru keluar rumah untuk melihat-lihat.
Obyek pertama adalah peninggalan dari nenek moyang kita berupa candi-candi di dieng, yang konon merupakan candi tertua di Jawa setelah candi Borobudur. Candi-candi tersebut beberapa diantaranya tersebar, seperti candi Bima dan Arjuno, sedangkan yang lainnya menjadi satu kompleks yang terpsah dan berjarak sekitar 200 meter dari yang lain. Candi-candi tersebut dikenal dengan candi Pendowo.
Tidak begitu besar memang tapi sangat menakjubkan, karena dibuat oleh bangsa kita yang hidup sekitar 1400 tahun sebelum kita. Setelah ber foto ria kami teruskan ke Telaga Balekambang yang berjarak sekitar 300 meter dari kompleks candi.
Telaga Balekambang merupakan telaga atau danau yang berukuran sekitar 1 hektar, disekitarnya ditumbuhi rerumputan, yang menyatu dengan kompleks candi-candi. Pengunjung tidak diperbolehkan mendekati danau tersebut, karena rumput disekitar danau tersebut tumbuh diatas air danau, Jadi kalau diinjak bisa terperosok ke dalam danau. Untuk itu kami terpaksa hanya melihat telaga tersebut dari jarak yang agak jauh.
Perjalanan dilanjutkan ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon, berjarak sekitar 500 meter ke arah barat dari telaga Balekambang.
Disebut Telaga Warna karena airnya yang mempunyai warna yang beraneka ragam, ada hijau, biru, kuning dan dan tentu saja putih. Warna tersebut direfleksikan dari dasar danau tersebut yang merupakan batuan kapur.
Telaga Pengilon terletak tidak jauh dari Telaga Warna, hanya saja tidak merefleksikan warna apapun, dan konsisinya sangat jernih sehingga disebut pengilon atau cermin. Danau tersebut sangat datar kalau tidak ada ilalang disekitarnya barangkali bisa menyentuh airnya secara langsung.
Di kompleks telaga ini juga terdapat bermacam goa, yang sangat dalam, sayangnya, goa-goa tersebut tidak dibuka untuk umum, karena sering digunaan untuk bertapa atau bersemedhi. Sebut saja Goa Sumur dan Goa Semar. Daerah ini sangat rindang, dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Namun tanahnya agak licin karena banyak ditumbuhi lumut.
Ada mitos disini apabila foto bersama disekitar sini maka selalu ada keanehan, dari tiba-tiba ada sesornga yang muncul tiba-tiba sampai dengan foto tidak jadi.
Kami sempat foto disekitra gua semar, bertujuh, begitu diafdruk, ternyata pas foto yang di depan gua tersebut tidak jadi.
Kami sangat puas dengan perjalanan de Dieng.
Paginya kami harus pulang, sebagaimana telah kami sepakati kami ingin menggunakan kendaraan, karena ternyata perjalanan melalui jalan kaki sangatlah berat. Disamping tenaga kami sudah lelah dan terasa belum cukup untuk beristirahat mengembalikan stamina kami.
Jam 7 kami bersiap menuju Batur, desa terdekat yang menyediakan angkutan sampai dengan Pagilaran, mendekati Pekalongan. Setelah berpamitan seperlunya kami berangkat dengan berjalan kaki lengkap dengan ransel masing-masing dipunggung.
Sepanjang pejalanan ke Batur banak juga obyek-oyek wisata seperti sumur Jalatunda, yaitu sebuah danau yang terletak diujung bukit yangsangat dalam. Sekuat-kuat kita melempat batu keseberang tentu akan jatu kebawah danau, dat begitu curamnya hingga kita tideak bisa melihat diman batu itu jatuh ke air.
Ada lagi Kawah Candradimuka, terletak diujung bukit, kawah yang sangat atraktif dengan loncatan dan belerang yang mendidih yang cukup luas.
Kawah Seleri, kawah yang sangat luas terletak di sebuah bukit, dan masih banyak lagi.
Karena kami banyak menghabiskan waktu dengan menikmati obyek-obyek ini kami sampai di Batur jam 11 siang. Setelah bertanya kesana-kemari kendaran menuju Pagilaran dan Pekalongan sudah berangkat. Dan kendaraan berikutnya akan ada 3 hari lagi, karena memang tidak tiap hari. Tetap seminggu dua kali.
Kami sontak merasa lemas, dan tidak tahu harus bagaimana, tenaga dan perbekalan kami mulai menipis.
Tetapi keadaan tidak boleh terlalu lama,karena pada saat ini juga kami diharuskan untuk memutuskan, menunggu tiga hari disini dengan perbekalan yang menipis atau langsung melanjutkan berjalan kaki. Karena desa terdekat dari batur menuju Paklongan adalah denganperjalan kaki selama sekitar 5 jam, sehingga apabila berlama-lama makan akan kemalaman di jalan.
Saat itu juga kami teruskan berjalan kaki menuju Karang Kobar, desa terdekat.
Perjalanan itu kami lalui dengan semangat yang tinggal tersisa, tidak ada canda, dan tawa lagi, semua melakukan dengan keterpaksaan. Sepanjang jalan jarang ditemui orang untuk dimintai arahjalan. Namun karena itu adalah jalan satu-satunya maka kami tidak menemui kesulitan. Tinggal mengikuti jalan berbatuan yang biasa dilewati kendaraan roda empat.
Sampai suatu sore, dengan tidak terasa kami tiba disebut desa/perkampungan, karena haru sudah sore,maka kami menghamoir sebuah rumah yang kami anggap paling bagus karena diterangi dengan lampu petromax, lampu dengan bahan bakar minyak tanah yang disemprotkan dengan tekanan tinggi kesebuah kain berbentuk bola lampu. Nyalanya sangat terang seperti lampu neon.
Kami disambut denga ramah oleh Bapak penghuni rumah, dan menawarkan untuk beristirahat, karena perjalanan masih jauh.
Dan menyilahkan kami untuk beristirahat di sebuah kamar kosong dengan tempat tidur yang nyaman. Setelah membersihkan diri, kami diundang ke ruang makan untuk makan malam. Adalahmakan malam yang mewah selama perjalanan ini. Perbincangan kami semakin seru karena kami seolah-olah mendapatkan energi baru. Saking serunya pembicaraan hingga kami semua lua tidak ada yang mengingat dan mencatat nama dan alamat Bapak-bapak ini.
Malam itu kami istirahat dengan sangat nyaman, diiringi suara dari Arthur Kauang dari AKA Band kami pun terlelap.
Pagi sebelum kami berpamitan diajak oleh tuan rumah untuk melihat lihat sekeliling kampung oleh Bapak yang baik ini. Rupanya dia adalah seorang saudagar tembako, sempat pula ditunjukkan tempat penyimpanan daun tembako untuk dilayukan dan di cincang/diiris tipis-tipis untuk dijemur dan langsung dipasarkan.
Setelah diajak sarapan kami berpamitan dan di bawakan kami masing-masing bekal makanan untuk bekal di jalan.
Meneruskan perjalaan menuju Pagiralaran ditempuh dalam waktu seharian, kami jalani dengan lebih bersemangat, karena disampjung semakin mendekati kampung halaman ang ditandai dengan semakin seringnya ketemu orang, juga kami baru saja mendapat perlakuan yang sangat baik dari Bapak yang di karang kobar itu (sekali lagi kami menyesal tidak mencatat nama dan alamat orang itu, minimal untuk mengucapkan terima kasih malalui surat).
Akhirnya kami sampai di Pagilaran, di usat keramaiannya, ditandai dengan adanya kendaraan angkutan yang terparkir. Kami menanyakan kendaraan yang menuju Pekalongan, salah seorang menunjukka sebuah mobil pick up, tetapi berangkatnya jam 6 sore, masih sekitar dua jam lagi dari sekarang.
Setelah menanyakan ongkos dan berhitung sis uang kami, maka kamipun masuk kesebuah warung makan untuk mengisi perut yagn seharian kosong.
1 komentar:
kisah menarik dan tak terlupakan
Posting Komentar