Selasa, 01 Desember 2009

CERITA REMAJA

KETIKA DIRI INI INGIN KEMBALI

Oleh : Gunarso

Sudah berulangkali ia coba tegarkan jiwanya, sebagaimana selalu ditanamkan ayahnya apabila sedang menghadapi sesuatu masalah agar tidak menghambat urusan yang lainnya. Namun Riska kali ini tidak bisa menghalau kesedihan yang telah menimpanya. Riska seakan-akan sudah tidak bisa berbuat apa-apa kini.

Kamar yang dijadikan tempat berteduh selama beberapa minggu ini, kini justru memberikan kepedihan di hatinya. Sinar redup yang dipancarkan dari lampu di kamar itu, kini nampak sebagai sorot mata yang dengan sinis dan angkuh menatapnya. Menjadikan ia semakin tidak nyaman tinggal di kamar ini.

Ibu kost, demikian Riska dan beberapa temannya menyebut Bu Minah sebagai pemilik rumah itu, memang belum pernah membicarakan posisi dan pekerjaan apapun tentang keberadaannya disini, apalagi menyuruhnya pergi dari tempat itu. Tetapi ia sudah sangat tidak betah dengan tempat ini. Pagi tadi secara tidak sengaja ia melihat Bu Minah menemui seorang laki-laki setengah baya yang berpenampilan rapi. Pembicaraannya terhenti ketika menyadari ada Riska disitu. Riska memang tidak mengetahui dengan pasti apa yang dibicarakan. Tetapi firasatnya sangat kuat, bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

Diraihnya foto berbingkai di salah satu sudut ruangannya dengan hati-hati. Ditatapnya senyum yang terlukis di dalam wajah foto itu, orang yang sangat dicintainya. Foto ayahnya itu sudah sedikit berdebu, dengan pelahan diusapnya permukaan foto itu dengan tangannya, seolah tidak merelakan wajah orang yang disayanginya itu kotor. Senyum itu memang sering membuatnya damai apabila sedang sedih. Tetapi kali ini justru semakin menyayat hati, air matanya tidak terbendung lagi mengalir lewat sudut mata lentiknya.

“Pa…. Riska mohon ampun …..” bisik Riska dengan gemetar seiring dengan duka yang menghimpitnya. Sambil memeluk dengan erat foto papanya.

Dengan foto dalam pelukannya cukuplah bagi Riska untuk mengurangi beban yang menghimpitnya. Walaupun tidak mengurangi deras air matanya.

Sekilas demi sekilas, terbayang peristiwa beberapa waktu lalu. Ketika itu, saat ia meninggalkan rumah, Riska seakan mempunyai bayangan yang sangat jelas membentang dan siap menyambut kedatangannya dengan penuh kehangatan. Harapan yang ditanamkan oleh Henky dan karena itu ia dambakan bersama Henky seolah membutakan akal sehatnya. Segala perkataan dan bujuk rayu Henky seakan merasuk ke dalam jiwanya yang paling dalam. Sehingga Riska merasakan tidak ada lagi orang yang lebih hebat dari dia untuk baginya bersandar dalam dirinya.

Sebagai kakak kelas Henky memang terlihat selalu mempunyai wawasan yang lebih luas darinya yang masih berstatus siswa baru. Dimulai dari waktu pekan orientasi di SMU, Henky yang merupakan salah satu panitia selalu menjadi pelindung dari hukuman dari kakak-kakak seniornya apabila ia melakukan kesalahan. Dari situlah kemudian Riska semakin dekat dengan Henky. Dialah yang selalu menuntun dan menunjukkan tempat-tempat yang baginya masih baru. Sampai akhirnya ia bersimpati kepadanya. Apalagi penampilannya yang jauh dari rapi dan terkesan seadanya itu membuat Riska menemukan suasana yang berbeda dengan apa yang selalu diberlakukan di rumah dengan disiplin ketat dari mamanya. Berteman dengan Henky, Riska memperoleh banyak nuansa baru dan sifat Henky yang cuek bebek itu memperbolehkan Riska untuk berbuat melakukan apa saja. “Ikuti saja hati nuranimu dan jangan pikirkan orang lain, dan kamu pasti akan menemukan kebahagiaan yang sesuai dengan jati dirimu”. Demikian berkali-kali yang diucapkan Henky kepadanya.

Adalah Riska yang seakan baru lepas dari kungkungan rumah dengan aturan yang ketat, seakan-akan menemukan sayap untuk terbang kemanapun yang ia inginkan. Seakan-akan tidak ada lagi orang lain yang dapat membahagiakan dirinya selain Henky. Adalah Henky yang tidak pernah menyudutkan Riska dengan menanyakan berapa nilai mathematika yang jelas-jelas sangat tidak disukainya. Atau dengan membandingkan angka raport dirinya dengan nilai adiknya yang selalu mendapatkan ranking. Sementara papanya yang penyabar selalu pulang malam sesuai dengan meningkatnya prestasi di kantornya, menjadikan ia jarang berkomunikasi dengan papa. Riska masih menganggap bahwa papa pasti bisa menerima keadaan dirinya termasuk apa yang tengah berada dihatinya saat itu. Dan biasanya papa mempunyai jalan keluar yang bijak untuk dijadikan panutan.

Berada di rumah lantas menjadi siksaan bagi Riska, ia selalu mengurung dalam kamarnya, agar terhindar dari kata-kata mama yang sering ia anggap menyudutkannya. Dan mengharapkan segera lekas pagi dan berada di sekolah lagi dan dapat lagi bertemu dengan Henky lagi. Bahkan Riska berani membohongi mamanya bahwa ia pulang sore karena ada les.

Itu adalah salah satu peristiwa yang sebenarnya sudah lama dilupakan Riska. Namun dalam kedukaannya kali ini mendadak muncul dan dikenang oleh Riska dan dianggap sebagai awal kehancuran masa depannya.

Riska menghela nafas panjang. Sosok Henky memang pernah menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya. Dan kini Riska sudah bisa mengendalikan diri dengan tenang sesuai dengan meningkatnya kedewasaannya. “Ia memang pernah merasuk dalam sumsumku. Tidak sekarang". Kini semua itu sudah menjadi salah satu sisi gelapnya.

Kedekatannya dengan Henky sempat membuat konsentrasi belajarnya menurun. Dan tentu saja menjadikan orang tuanya kecewa dengan nilai-nilanya yang semakin menurun. Setiap kata-kata yang ia dengar di rumah menjadi sesuatu yang ditakuti Riska. Kata-kata mamanya nampaknya semakin menyakitkan saja. Riska sendiri masih berusaha untuk lebih tekun lagi berkonsentrasi dalam belajar. Tetapi manakala ia membuka buku pejalaran yang muncul adalah wajah Henky yang diikuti dengan lamunan dan rencana yang akan ia lakukan bersamanya esok hari.

Henky memang tidak pernah menanyakan berapa nilai ulangan dan mata pelajaran yang diajarkan. Henky hanya selalu berkomentar dengan enteng manakalan Riska menunjukkan nilai jelek dalam ulangan : “...itu tampaknya memang bukan bidang yang sesuai dengan bakatmu”.

Kedekatannya sudah sampai pada taraf yang tidak bisa dipisahkan lagi. Sehingga Riska selalu ingin selalu di dekatnya. Baik pagi, siang, malam dan setiap saat, yang ia pikirkan hanyalah Henky seorang. Sementara ia sendiri sadar bahwa apabila ia jauh darinya maka ia tidak bisa konsentrasi dalam hal apa saja, apalagi untuk belajar.

Sudah dari semula orang tua Riska tidak menyenangi hubungan itu, karena kedekatannya bukan untuk tujuan sekolah atau organisasi. Apalagi dengan melihat penampilan anakmuda itu yang terkesan kurang sopan dalam berpakaian.

Suatu ketika orang tua Riska bagai terkena petir mendengar permohonan Riska untuk menerima Henky apabila melamar untuk menikahinya. Orang tua Riska tidak menyangka bahwa Riska sudah demikian jauh berhubungan dengan Henky. Riska yang dihadapannya masih kelihatan gadis lugu yang baru keluar dari rangkulan tanganya.

Kini, di dalam kamar yang sempit ini. Riska merasakan bahwa keputusannya itu adalah suatu kebodohan terbesar dalam hidupnya. Bagi orang tua Riska sebenarnya bukan karena Henky yang berpenampilan seadanya itu yang tidak mengijinkan permohonan anaknya. Tetapi ia ingin memenuhi tugasnya sebagai orang tua dalam hal pendidikan yaitu menyelesaikan kuliahnya dulu. Apalagi mamanya yang dengan ambisius ikut menggenjot pelajaran Riska hingga bisa berguna bagi masa depannya.

Barangkali inilah saat yang tidak pernah dilupakan Riska, dan barangkali juga orang tuanya. Riska yang sudah diliputi cinta pertamanya itu justru menjadi berang dan marah-marah.

“Sampai kapan mama akan terus mendikte kehendak, menghalangi keinginan dan menyumbat nurani Riska ?”. Katanya waktu itu dengan suara keras yang jarang keluar dari mulutnya, kecuali apabila sedang merengek atau tertawa ketika digoda papanya.

Adalah Riska, yang belum mengenal benar kehidupan yang sesungguhnya. Adalah Riska yang sudah diliputi cinta buta dan tidak mampu melihat hidup dengan nyata. Ia masih sayang orang tuanya, ia masih menyukai kenangan masa lalunya. Ia tetap menghargai jasa orang tuanya yang telah mendidik dan merawatnya dan hal-hal lainnya. Tetapi ia sudah sangat yakin dengan masa depannya bersama Henky. Bayangan indah itu seakan terbentang dengan nyata. Memaklumkan keputusannya untuk memilih. Apalagi papa pada waktu itu dengan geram memberikan ultimatum padanya, entah disengaja atau terlepas ucapan “Mau ikut papa atau ikut pacarmu itu”. Riska sendiri merasa bahwa papa yang selama itu lembut dan menyayanginya bisa mengatakan ucapan yang begitu keras, dianggapnya suatu tantangan bagi dirinya untuk menunjukkan jati dirinya. Dengan berat hati ia akhirnya memutuskan suatu pilihan, walaupun dengan hati perih.

Dengan langkah tegar, walaupun dengan hati hancur, ia menjinjing tas dan menggendong ransel berisi pakaian dan keperluan seadanya, dengan satu bayangan yang semakin jelas, seakan sesuatu telah membuka tangan siap menyambutnya. Dengan keyakinan yang mantap. Tidak lupa foto papa yang selalu mengajarkan kemandirian padanya, agar dalam hidup tidak boleh terlalu pasrah menggantungkan nasib pada keadaan saja. “Hidup adalah selalu bekerja untuk menjadikannya menjadi lebih baik. Berusahalah untuk selalu menjadi yang lebih baik”. Kalimat itulah yang selalu terngiang dalam dirinya manakala ia sedang sedih.

Riska waktu itu benar-benar merasa sudah bisa mandiri dan bisa memutuskan pilihan hidupnya, usianya sudah tujuh belas tahun. Bersama Henky ia bertekad membangun kehidupan baru yang kelihatan berkilauan sinarnya. Walaupun tanpa seijin kedua orang tuanya akhirnya ia putuskan juga pilihannya dengan bulat.

Akhirnya Riska, sambil terus mendekap foto papanya, tahu bahwa tindakannya itu hanya menuruti nafsu mudanya saja yang sangat mentah. Suara keras papa yang mengultimatumnya itu, Riska yakin bahwa sebenarnya tidak berarti papa sudah tidak sayang lagi padanya.

Hidup memang lebih dari sekedar menikmati kehidupan saja. Dibalik itu dibutuhkan suatu energi yang luar biasa agar pada akhirnya dapat menjadikan kepuasan bathin baginya.

Riska akhirnya memilih kost atas biaya Henky, sambil menunggu Henky berhasil dari usaha berdagang yang dilakukan selesai jam kuliah. Tentu hal ini di luar pengetahuan orang tua Henky. Henky berjanji segera menikahinya apabila usahanya berhasil.

Hidup ternyata tidak mudah, Henky tidak kunjung sukses dalam usahanya berdagang. Uang saku Henky dari orang tuanya lama kelamaan tidak cukup untuk membiayai dirinya. Sedang usahanya tidak kunjung berhasil membuat Henky semakin frustasi dan malu pada Riska dan dirinya sendiri.

Tinggallah kini Riska dengan kesendiriannya, beberapa lamanya Henky sudah tidak pernah mengunjunginya lagi, apalagi memberikan biaya bagi kehidupannya.

Sedikit demi sedikit tabungan Riska yang dibawanya nyaris habis terpakai, sampai akhirnya datanglah seseorang yang membawanya pada bu Minah yang memberikan harapan baru baginya. Sebenarnya keputusan untuk bergabung dengan bu Minah, adalah keputusan yang sangat sulit juga bagi Riska. Hal yang paling membuatnya bingung adalah bahwa ia tidak tahu pekerjaan apa yang akan dilakukan di tempat bu Minah, di samping itu ia memang baru pertama kali ini ikut dengan keluarga lain selain dengan orang tuanya. Tetapi untuk tetap tinggal disitu ia sudah tidak mampu lagi untuk membayar uang kost dan untuk makan sehari-hari. Yang dia tahu bahwa bu Minah mempunyai salon kecantikan.

Untuk pulang ke rumah ia takut dengan omelan mamanya, yang pasti akan sangat marah dengan kepergiannya secara diam-diam itu dan perasaan malu mengakui kesalahan dalam melakukan pilihan waktu meninggalkan rumah masih mengendap di dalam kalbunya. Terutama pada papanya yang entah disengaja atau tidak memberikan ultimatum kepadanya untuk ikut papa atau Henky.

Akhirnya ia memang harus memutuskan salah satu pilihan. Tawaran bu Minah nampaknya adalah yang terbaik baginya.

Oleh bu Minah, Riska dilatih keterampilan memotong rambut dan perawatan kecantikan lainnya untuk membantu bu Minah kelak di salonnya. Riska juga sudah mahir merias untuk kepentingan sendiri. Bahkan sudah mampu membantu bu Minah dalam merias dirinya, sakli-kali teman bu Minah pernah juga diriasnya. Riska bahagia dengan keterampilannya itu.

Namun diam-diam Riska bertanya, mengapa ia tidak pernah diajak ke tempat salon kecantikannya itu. Bu Minah selalu mengelak apabila Riska ingin ikut bu Minah ke tempat kerjanya. Alasannya macam-macam.

Sampai suatu ketika Riska benar-benar tidak menyangka bahwa, ternyata tinggal bersama bu Minah adalah hal yang dapat mendorong Riska kejurang yang lebih pahit. Riska sadari itu. Ia mulai curiga dengan tingkah laku bu Minah yang selalu berdandan sangat menor itu. Apalagi seringnya ia membawa tamu bermacam laki-laki ke rumahnya sampai larut malam. Instink Riska tidak menerima itu. Bu Minah yang dikiranya baik hati, menyimpan niat yang paling ditakuti Riska, yaitu pelan-pelan akan menceburkan Riskake dunia hitam.

“ Aku harus keluar dari rumah ini. Segera !” begitu tekadnya dalam hati.

Diambil ransel dan tas bepergian Riska yang dibawa Riska sejak meninggalkan rumah. Dengan hati hancur ia masukkan satu demi satu pakaian ke dalam tas dan ranselnya. Air matanya semakin deras ketika terakhir akan memasukkan foto ayahnya itu. Sekali lagi didekapnya foto itu sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam tasnya.

“Pa ... ma, ..... maafkan Riska pa ..... , Riska mau pulang ma ...” Bersamaan dengan itu pecahlah tangis Riska, disertai derai air matanya. Larutlah gumpalan duka yang menghimpit dadanya. Hilanglah segala macam perih yang menyayat hatinya. Untuk beberapa lama, tubuhnya terguncang-guncang menahan gejolak tangisnya.

Dengan berat Riska pelan-pelan mulai bisa mengendalikan perasaannya, berusaha tegar, begitulah nasehat ayah Riska yang selalu terngiang dalam telinganya. Riska siap menerima kemarahan mama dan papanya. Riska bertekad untuk keluar dari rumah ini dan pulang ke rumah adalah tujuannya. Bagaimanapun rumah adalah tempat yang terbaik bagi dirinya. Riska tahu itu. Dengan pikiran tenang dan lebih dewasa.

Dengan air mata yang masih sembab ia sekilas melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 01.30.

“Oh ...... sudah sangat larut” pikirnya “mudah-mudahan penghuni rumah ini sudah tertidur dan tidak mengetahui kepergiannya”

Dengan mengendap-endap ia buka pintu kamarnya, dan segera keluar dengan cepat dari rumah bu Minah.

Riska berteriak ketika melintas apa yang ditunggunya “ Taksi !, .... pulang ke rumah pak”

Untuk beberapa saat pengemudi taksi belum menjalankan mobilnya walaupun Riska sudah duduk manis di jok belakang “Pulang kemana neng ...?” Riska tersentak, bersamaan dengan menyebut alamat rumahnya tergambarlah wajah mama, wajah papa, wajah bibi dan wajah si endut adiknya terbayang semua. Iapun tidak peduli lagi apa reaksi mereka semua.

Di dalam taksi menuju rumahnya, senyum Riska tiba-tiba mengembang, dan itu salah satu petunjuk bahwa dirinya telah dapat menyelesaikan persoalannya. Dan itu mungkin adalah prestasi pertamanya dalam menyelesaikan masalah yang yang menghimpitnya. Kemenangan Riska adalah keberhasilan memutuskan masalah yang menimpanya.

****

Bekasi, November 2002

Tidak ada komentar: