Rabu, 29 Juli 2009

GODAAN DARI SEORANG GADIS BERNAMA SUKESI

Naskah Jadul
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh : Gunarso

Kereta api yang saya tumpangi, yang bergerak kearah Timur menjadi semakin padat karena banyak penumpang yang naik ditengah jalan. Sementara itu saya terus mengantuk sambil melamun. Pikiran saya menjadi sedih membayangkan mereka yang saya tinggalkan dan memikirkan apa yang bakal terjadi terhadap diri saya nanti, dan kemana arah serta tujuan kepergian saya itu.

Memperbaiki nasib dengan cara keluar dari kota kecil adalah menjadi niat saya sejak dulu. Yang saya jumpai berada di kota kecil adalah keterbatasan dalam mencari kehidupan, antara lain dalam hal mencari penghasilan.

Setelah saya gagal mengikuti ujian masuk kweekschool di tahun 1902 yang diselenggarkan di Jogya, saya merasa sebagai seorang yang gagal dan merasa bersalah telah mengecewakan guru saya M. Sastro Amijoyo yang mengirimkan dan menjagokan saya untuk bisa diterima di sekolah guru tersebut, setelah lulus. Apalagi beliau telah memberiku sangu f 5.00 yang bagiku tidak sedikit.

Ujian masuk kweekschool diikuti oleh perwakilan dari sekolah-sekolah di Jawa. Bahkan pembukaan ujian masuk tersebut diresmikan oleh Kanjeng Adipati Ario Notodirejo dari Paku Alam, menandakan bahwa peristiwa ini sangat penting, dari sekolah yang ternama. Sudah pasti bahwa lulusan sekolah ini akan menjadi seorang yang dicari-cari dan dihormati.

Saya memikirkan ibu saya, ayah saya, saudara-saudara dan teman-teman saya. Karena mereka semua yang saya cintai itu telah saya tinggalkan tanpa kabar. Ya, tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Karena ayah dan keluarga pasti akan tidak memperbolehkan saya untuk pergi mencari penghasilan ke luar kota. Apalagi dengan status saya sebagai pegawai magang pastilah sudah bisa dianggap bisa menjanjikan hidup layak di kota itu.
Walaupun Pak Sastro sudah memahami kegagalanku di kweekschool itu saya merasa malu dan tidak enak telah mengecewakan beliau. Beliau berjanji akan mengirimkan kembali untuk kedua kalinya ke Jogya, saya hanya mengiyakan saja.

Setelah kegagalan saya itu, saya mendapat pertolongan dari salah seorang paman untuk magang di kantor Lands Kas. Sebagai pemagang saya memang tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi dari saku pribadi tuan Roger, saya selalu diberi uang setiap kali membantunya melakukan lembur sampai malam. Dari uang itulah saya tabung untuk bekalku untuk mengadu nasib ke luar dari kampung halaman.

Tapi itu adalah resiko yang harus saya hadapi, saya pasti akan kembali kepada mereka apabila sudah mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Kereta terus melaju membawa pikiranku, yang kadang masih tertinggal di tempat tinggalku bersama keluargaku..

Setelah kereta api melewati Kendal, tercium oleh saya bau wangi-wangian. Saya buka mata saya. Dari balik kacamata hitam saya lihat seorang gadis berdiri, melihat-lihat kekanan dan kekiri mencari tempat duduk. Dari penampilannya kelihatan bahwa ia adalah anak seorang priyayi. Saya persilahkan duduk disamping saya barangkali ia mau, karena hanya disamping saya ada tempat yang tidak terlalu sempit. Pada mulanya ia agak malu-malu, tetapi akhirnya ia mau menerima tawaran saya itu, kemudian saya terpaksa meluruskan cara duduk saya agar tidak terlalu berdesakan.

“Terima kasih, mas” setelah menerima tawaranku. Saya bertambah tertarik dengan tutur bahasanya yang lembut.

“Sendirian saja dik?” tanya saya memberanikan diri, dengan suara yang kubuat agar kelihatan wajar dari balik jiwaku yang bergolak dihadapan wanita.

“Iya” jawabnya singkat dan tetap dengan nada sopan.

Angin kencang yang menerobos lewat jendela kereta mengibaskan rambutnya yang panjang, menyingkapkan dan menampakkan lehernya yang putih mulus.

(Saling bertanya bagi orang-orang yang duduk berdekatan di kereta api merupakan hal yang lumrah. Malah tingkat pembicaraan dapat meluas ke hal-hal lain seperti halnya pembicaraan dengan kawan-kawan kita sendiri).

“Mau turun dimana dik” tanyaku.

“Ke Semarang mas”

“Wah kebetulan sekali saya juga mau ke Semarang. Berarti saya menambah kenalan satu orang lagi orang yang tinggal di Semarang”

“Saya tidak tinggal di Semarang kok.”

Saya lihat dari balik kacamata hitam saya, gadis tersebut mempunyai badan kecil, berkulit kuning, serasi dengan gaun yang dipakainya.

Saya jadi kepingin tahu siapa orangtuanya dan apakah ia telah bersuami dsbnya. Akhirnya saya mendapat keterangan bahwa namanya Sukesi, anak jurutulis B.O.W. Kendal, ia masih lajang. Kepergiannya ke Semarang hanya untuk menjenguk keluarga. Cara saya bertanya sudah tentu tidak secara langsung, tetapi dengan jalan yang sopan dan halus.

Ketika kereta api sudah mendekati Semarang, saya mulai bersiap-siap untuk turun, saya tanyakan kepada gadis itu di Semarang nanti akan tinggal ditempat siapa, kampungnya dimana, dsbnya.

“Dik Sukesi, mau menemani saya jalan-jalan di Semarang?, mumpung masih siang. Nanti sore saya antar ke rumah Saudaramu itu”. Tawaran itu saya ajukan karena saya memang benar-benar tahu bahwa ia masih lajang, karena sayapun berstatus bujangan, jadi kalau sama-sama setuju tidak ada salahnya, pikir saya.

Sukesi masih ragu-ragu tidak menjawab. Wajahnya nampak sekali bingung.

Saya turun dari kereta api dan terus menuju ke salah satu dokar yang berjajar di depan stasiun, tidak lagi memikirkan tentang anak gadis itu. Ketika saya akan naik dokar itu, saya menengok kebelakang, saya lihat Sukesi masih berdiri seperti orang bingung atau ragu-ragu.

Saya turun lagi dan pergi mendekatinya. Saya persilahkan sekali lagi untuk ikut saya. Dengan hati yang berat dan tanpa mengucapkan satu patah katapun, dengan perlahan-lahan Sukesi berjalan menuju ke dokar saya, kemudian kita berdua berjalan ke arah kampung Karangwidara.

Orang yang saya tuju adalah Pak Wongso dan Ibu, adalah kenalan lama saya , menyambut kedatangan saya dengan gembira setelah cukup lama tidak bertemu. Saya menyampaikan tujuanku kemari untuk mencari pekerjaan, untuk itu saya minta ijin untuk tinggal dirumahnya untuk beberapa lama. Pak Wongo dan sangat gembira bahwa saya mau tinggal di rumahnya. Dengan segera menyuruh salah satu abdinya untuk membersihkan kamar belakang sebagai tempat saya menginap.

Setelah berbasa-basi beberapa saat sebagai layaknya kenalan lama yang sudah lama tidak bertemu, saya dan Sukesi pamit untuk jalan-jalan, sambil mengantar Sukesi ke tempat Saudara yang akan dikunjunginya

Di sore hari, kami berdua pergi nonton film, duduk dikelas 2 yang kebetulan sepi. Kelas 1 dan Loge juga sepi pada waktu itu. Tidak lama kemudian, datanglah seorang Bupati dan isterinya, disertai seorang pengawal / upas yang membawa payung kebesarannya/Tumenggung.

Karena melihat bahwa dikelas-kelas atas pada waktu itu sepi sekali dan sang Bupati itu hanya duduk sendirian, maka ia terus pindah duduk disamping saya, hingga saya merasa rikuh dan tidak bisa bergerak. Ia malah mengajak bicara dengan saya terus menerus hingga film berakhir.

Dari upas yang mengawalnya saya dapat keterangan bahwa Bupati itu bernama R.M. Tumenggung Cakradijaya, Bupati Purworedjo yang baru saja diangkat, sedangkan isterinya bernama R. Ajeng Sri Wulan, puteri Bupati Demak.

Kejadian diatas ini saya ceriterakan karena merupakan suatu peristiwa yang yang sulit dilupakan karena sebagai orang kecil, seperti saya dan Sukesi, tidak akan mengalami lagi kejadian seperti itu, duduk berdampingan dengan seorang Bupati serta isterinya.

Walaupun gembira dapat bertemu dengan orang besar dan terhormat, saya merasa kecewa karena mengurangi waktuku untuk bisa bertukar pengalaman dengan Sukesi.

Sukesi tidak mau diantar sampai depan rumah saudaranya, karena takut dengan Saudaranya yang akan menceriterakan kepada bapaknya di Kendal. Ia mengucapkan selamat jalan di ujung jalan saja. Dan berjanji akan bertemu di tempat ini besok jam 9 pagi, di bawah pohon sawo.

Malam hari di rumah Pak Wongso, pikiranku masih ada pada Sukesih yang manis. Saya membayangkan wajahnya yang cantik dan senyumnya yang menawan. Wajah Sukesih seakan memenuhi seluruh dinding bambu kamar ini. Saya benar-benar tidak bisa tidur malam itu.

Pagi-pagi benar selesai sholat subuh saya membersihkan kamar, menyapu halaman, menyiram tanaman di rumah pak Wongso yang saya tumpangi. Pak Wongso melarang saya untuk tidak melakukannya, tetapi saya lakukan dengan tulus, saya katakan kepada beliau bahwa saya juga melakukan hal yang sama apabila di rumah.

Jam sembilan kurang saya sudah berada di bawah pohon sawo di Pindrikan sebagaimana telah dijanjikan Sukesih. Dengan gelisah karena membayangkan suatu pertemuan yang sangat menyenangkan, rencana perjalanan telah saya susun untuk menyenangkan hatinya sehingga tertarik kepadaku.

Tiba-tiba seorang anak yang bertelanjang dada menghampiri saya sambil membawa surat. Surat dengan ragu-ragu saya terima dan kutanyakan pada anak itu dari siapa. Namun amak itu segera berlari dan menghilang di salah satu ujung gang. Surat segera saya baca :

"Maaf ya, saya telah berbohong pada mas. Saya telah mengecewakan karena tidak menepati janji. Sebenarnya saya sangat tertarik kepada kebaikan hati mas, saya telah terhanyut oleh kata-kata mas yang demikian menarik dan dapat menghibur saya ditengah-tengah kesedihan yang saya alami. Sejujurnya, hati kecil saya ingin segera berlari dari rumah ini bersama mas, dari rumah yang hanya mendatangkan duka dan nestapa, meninggalkan orang tua saya yang telah memaksa saya untuk menikah dengan seorang yang ternyata sudah mempunyai dua isteri.
Saya sangat ingin lolos dari masalah ini, tetapi untuk melibatkan mas yang baik saya jadi sadar, sepanjang malam saya tulis surat ini dengan perasaan yang sangat sedih. Karena mas begitu baik dan tidak berhak turut menanggung masalah ini. Biarlah keadaan ini saya alami sendiri. Terima kasih, mas telah menghibur saya kemarin, walaupun hanya sesaat.
Selamat jalan. Semoga mas tidak marah pada saya, karena akan menambah beban yang tengah saya alami ini."

Saya tutup surat itu, saya bermaksud mencari anak pembawa surat itu, tetapi sudah tiada. Saya lihat jalan disekitar ini sepi tidak ada orang. Saya coba telusuri gang-gang tempat anak tadi menghilang tetapi nampaknya sepi. Ada seorang ibu-ibu yang sedang menyapu halaman, saya menanyakan rumah Sukesih. “Di sini, dikampung ini tidak ada yang orang yang bernama Sukesih, den”.

Saya sedikit terpukul dan sedih. Tetapi dibalik itu saya merasa bersyukur bahwa niat saya untuk mencari penghidupan yang lebih layak tidak terbebani oleh hal-hal lain termasuk oleh godaan seorang gadis.

Tidak ada komentar: