Sabtu, 18 Juli 2009

Saksi Sejarah I

Pecahnya Perang Dunia II (Dimata seorang warga)

Kegelisahan semakin memuncak ketika berulang kali pemerintah Hindia - Belanda mengumumkan melalui pengeras suara keluar masuk kampung memberitahukan bahwa perang sudah semakin dekat.Diantara suara sirine yang semakin sering diperdengarkan.

Beberapa orang yang masih sehat mempersiapkan diri dengan membuat lubang-lubang perlindungan bagi keluarganya apabila perang benar-benar pecah dan terjadi pemboman.

Tempat-tempat pengungsian di luar kota juga sudah dipersiapkan oleh pemerintah bagi orang-orang dari kota-kota Pekalongan dan Batang.

Pemberian kupon-kupon untuk membeli beras di tempat pengungsian nanti juga sudah dibagi-bagikan. Kami sekeluarga sudah ditetapkan akan mendapat tempat di desa Wonopringgo, bersama keluarga dan tetangga sebelah.

Rencana pengungsian orang-orang Pekalongan dan Batang sudah dipersiapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sudah dilakukan enam bulan sebelum pecah perang. Begitu juga terhadap jalan-jalan yang akan dilalui oleh para pengungsi lengkap dengan petunjuk jalan yang akan dipergunakan apabila perintah mengungsi sudah dikeluarkan. Semua warga tampaknya sadar untuk suatu tujuan menjaga keselamatan keluarganya, jangan sampai menjadi korban apabila perang sampai menjalar ke wilayah mereka.

Banyak surat selebaran yang dibagi-bagikan oleh pemerintah, berisi petunjuk tentang cara-cara menyelamatkan diri sampai kepada kewajiban masing-masing apabila tempat kita diduduki oleh musuh.

Februari 1942 semua sekolah ditutup.

Saya kebetulan mendapat serangan malaria yang agak berat. Tetangga di kanan kiri sudah pergi mengungsi. Dalam pada itu, pohon beringin di Kadjen yang diberi nama “Wilhelmina” untuk memperingati kenaikan tahtanya ratu Belanda itu, kebetulan tumbang, oleh banyak orang kejadian ini dianggap sebagai lambang runtuhnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Kabar-kabar tentang perang yang dimuat di suratkabar-suratkabar selalu menceriterakan kebengisan tentara Jepang di negara-negara yang sudah diduduki. Mendengar berita itu, isteri saya menjadi takut dan semakin kecil hatinya.

Hari Sabtu, 28 Februari 1942, kawan-kawan di kantor menerima gaji dua kali, tetapi karena saya sedang sakit saya tidak dapat datang ke kantor. Ketika saya datang ke kantor hari Seninnya, tanggal 2 Maret 1942, keadaan kantor sudah sepi, orang-orang sudah pada pergi, termasuk tuan Winata dan pejabat-pejabat lainnya.Pasar-pasar juga sudah sepi, tidak ada orang jualan satupun.

Di rumah cukup makan dengan sayur dari papaya muda yang diambil dari rumah tetangga yang sudah ditinggalkan.

Di waktu malam terdengar suara-suara tembakan senapan dan pistol.

Toko-toko Cina di pinggir jalan sudah habis dirampok. Di Batang dan Warungasem tokok-toko sudah dirampok sejak tanggal 2 Maret 1942

Tanggal 3 Maret 1942 saya berhasil menerima gaji berkat pertolongan Bupati.

Tanggal 4 Maret berangkat mengungsi ke Wiradesa, numpang di tempat paman Ketu(Tjondroketu).

Semua perabot rumahtangga saya titipkan di rumah Soeoed, yang ditempati Pi, di kampung Kwidjan.

Tanggal 5 Maret 1942 toko-toko Cina di Wiradesa dirampok.

Tanggal 10 Maret 1942 kembali ke Pekalongan.

Saya tidak kembali ke rumah lama dengan maksud menghemat, jangan sampai lagi-lagiharus mengangkut barang-barang, apalagi saya belum tahu nasib pegawai negeri bagaimana nanti.Pikir saya, kalau semuanya sudah jelas dan saya tetap ada pekerjaan, saya akan kembali ke rumah sewaan lama, tetapi tahu-tahu rumah itu sudah diisi orang lain tanpa sepengetahuan saya.Tanggal 17 April 1942 pembesar Jepang yang pertama datang di Pekalongan.

Di suatu pertemuan di Kabupaten dijelaskan mengapa Jepang menduduki tanah Jawa dan diumumkan bahwa gaji tertinggi buat pegawai tidak boleh melebihi f 500.- Pajak-pajak tetap harus dibayar. Para pegawai yang sudah menerima gaji dua kali, akan ditagih kembali, oleh sebab pada tanggal 1 April tidak ada yang menerima gaji. Semua pegawai diharuskan menandatangani sumpah setia kepada pemerintah Jepang.

Sejak itu tidak ada lagi cara membeli dengan bon (beli dulu bayar belakangan). Toko-toko yang sudah lama kenal tidak mau memberikan hutang lagi. Semua harus dibayar tunai, oleh sebab itu harus ada uang.Harga minyak goreng pada waktu itu satu blek f 7.50.

Kantor Regentschap pindah ke kantor Asisten Residen. Jumlah pembesar Jepang bertambah banyak.Pengalaman pertama membuat nama kantor dengan huruf Jepang: Pe-ka-ro-n-ga-n (=Pekalongan).

Bupati Soeryo diangkat merangkap wakil Residen. R. Soempeno, Kontrolir Regentschap, diangkat menjadi Wali Kota Pekalongan.

Residen dan para pembesar Belanda ditangkap oleh Pemerintah Jepang, juga orang-orang Belanda lainnya seperti tuan v. Leeuwen dan tuan Meertens, keduanya pegawai kantor Kabupaten.Juli 1942 kantor Kabupaten pindah lagi ke Sekolah PPBB di pojok alun-alun Pekalongan, karena kantor yang lama dipakai oleh orang-orang Jepang. Jadi sangat dekat dengan rumah, tetapi sebaliknya sekolah-sekolah anak-anak (HIS dan Kartini) dipindah ke tempat yang jauh, di jalan Panjang.

Bahan pakaian untuk jas dan celana (jenis tusor) waktu itu harganya masih f 0.50.- per el, harga beras masih normal.Kantor Kabupaten yang baru ini terus diperbaiki dan diperluas dengan menggunakan bahan-bahan yang diambil dari pasar Demangan (Batang) dan Warungsasem. Pendapa Kabupaten bagian Timur dipindah ke Barat untuk Klinik.

1 komentar:

galih imuet mengatakan...

maaf, mau tanya. kalau boleh tahu sekarang umur bapak berapa ya? itu cerita bapak sendiri atau orang lain? boleh tahu alamatnya?
saya mahasiswa sejarah UGM, asal dari pekalongan.